KabarKobar-Manusia
adalah “zoonpolitikon”-makluk sosial,”
demikian kata Aristoteles. Sehingga manusia adalah satu-satunya makluk hidup
yang tidak bisa hidup tanpa melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Hidup
secara berkelompok untuk memecahkan masalah dan membangun konsep perlindungan
diri. Inilah dasar keyakinan apa yang disebut sebagai politik, yaitu suatu cara
untuk mengelola kekuasaan, memberikan perlindungan dan membagi sumber daya bagi
keselamatan bersama.
Hukum
besi kapitalisme adalah menendang “tuan rumah” lewat jendela dan menjarah
barang berharga yang ditinggalkan. Begitulah paradigma kapitalistik, terajarkan
sebagai doktrin trinitas, Gold, Glori dan Gospel. Sejak zaman permulaan awal kolonialisme, raja-raja Eropa
punya semboyan,” berlayarlah sejauh mungkin dan dapatkan apa yang berharga buat
kita,”.
Doktrin-doktrin
menghalalkan segala cara ikut dilayarkan bersamaan dengan misi untuk mendapatkan
barang-barang berharga yang berguna dan bisa di jual ke negeri Eropa. Setiap
pelayaran yang dilakukan orang-orang berani seperti Colombus, mendapatkan dana
dan logistik dari kapitalis sebagai sponsor misi. Setibanya di tanah jajahan, pertama
sekali yang dilakukan adalah mengajarkan bujuk rayu pada rakyat, lobby-lobby,
kontraktual, perjanjian, adu-domba, dan manajerial pendisiplinan masyarakat.
Dari
mereka –kolonialisme, kapitalisme itu diajarkan dan terajarkan.
Dalam sistem
kapitalisme, segala hubungan-hubungan lama tergantikan dengan uang sebagai alat
tukar. Uang menjadi alat kekuasaan dan wadah penyimpanan nilai untuk menukarkan
barang yang diasumsikan sederajat. Secara bersamaan, kehadiran uang telah merobek-robek
nilai yang hidup sebelumnya, termasuk menggantikan hubungan darah dengan uang,
gotong royong dengan model proyek. Dari situ muncullah apa yang disebut dengan
konsep” individualistik dan konsumeristik”.
Sehingga,
pandangan hari depan terbentuk berdasarkan kategori sosial yang berlaku dari pengalaman
interaksi. Pengalaman interaksi dalam berbagai hubungan sosial yang berlaku,
membentuk mental, paradigma dan pandangan setiap manusia. Ini yang disebut
dengan kesadaran kognitif manusia atau konsepsi mental dalam ilmu psyikologis. Dalam
soal itulah ide dan praktik manusia ditentukan dalam agenda perebutan kekuasaan
melalui medan tarung politik antara paradigma populis-kerakyatan versus
kapitalis yang haus keuntungan.
Politik Uang Kapitalis
Dalam
merawat kekuasaan politik dan ekonomi, si kapitalis akan menggunakan uang untuk
membeli segala syarat-syarat yang diperlukan melanggengkan kekuasaan atas
kekayaan. Kapitalis sangat mudah untuk mendapatkan syarat-syarat itu, seperti
partai politik yang bisa dibeli, menjadi anggota parlemen dan pun menjadi sang
penderma dadakan melalui organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan. Kapitalis
memiliki seribu wajah dalam soal-soal kemasyarakatan, dia bisa mendadak jadi
sosok agamawan, dermawan, orang baik, dan seterusnya. Satu-satunya yang tidak
bisa disembunyikan oleh kapitalis adalah “cara atatu proses penciptaan kekayaan”.
Dari mana
segala kekayaan kapitalis berasal? dalam masyarakat agraris tanah menjadi aset
penting dalam penciptaan kekayaan sehingga ia disebut konstan kapital.
Sementara manusia atau masyarakat petani yang terhempaskan dari lahan disebut
tenaga kerja atau variabel kapital. Karena segala-galanya dikuasai atau jatuh
dalam kontrol tangan kapitalis, tanah dan tenaga kerja menjadi sumber kekayaan
sekaligus. Tetapi segala kontrol itu tidak bisa awet tanpa kekuasaan politik.
Negara
paling tidak memiliki kepentingan melalui pengorganisasian rente dan pajak. Karena
itu otoritas atas jalannya aktivitas ekonomi mesti mendapatkan persetujuan
pemerintah. Kapitalis menjadikan tanah sebagai aset kapital konstan melalui
selembaran restu negara yang disebut dengan konsesi.
Konsesi
adalah previlege (pengistimewaan) atau
hak hukum baru yang diberikan oleh pejabat publik-pemerintah daerah- pada
seorang kapitalis dalam bentuk surat berharga. Isi dari surat-surat berharga
itu bisa dalam bentuk izin hak guna usaha perkebunan sawit antara 25.-40 ribu
hektar; izin Usaha Pertambangan antara 100-5000 hektar; izin hak guna bangunan rumah
toko; izin penyaluran bahan bakar (Pompa Bensin); pembangunan hotel; real
estate; kontrak sebagai pihak ketiga
pembangunan jalan, jembatan maupun gedung-gedung pemerintah.
Dengan
demikian, dalam pembentukan kekayaan kapitalis memiliki dua sumber: Pertama, dari merampas hak rakyat
perdesaan melalui hak hukum baru; Kedua,
menikmati rente negara melalui pengerjaan proyek-proyek pembangunan pemerintah.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara agraris, kapitalis umumnya menginginkan
keduanya, menjadi pejabat pemerintah sekaligus mendapatkan hak hukum baru. Dari
sinilah munculnya apa yang disebut kecenderungan “oligarki” dalam negara dunia
ketiga. Dimana pelaku ekonomi sekaligus penikmat rente dari pengumpulan
kekayaan publik secara monopolistik karena rangkap jabatan: komisaris
perusahaan sekaligus pejabat publik. Mereka bisa menggelapkan, mengemplang dan
merahasiakan kekayaan yang dikumpulkan karena kendali kekuasaan politik.
Sebuah
penelitian statistik tahun 2011, menyebutkan, di Kabupaten Banggai, sekitar 60
persen dari 80 persen kekayaan publik dikuasai oleh sekitar 20 persen jumlah
penduduk. Anda bisa bayangkan, sekitar 80 persen jumlah penduduk memperebutkan
20 persen kekayaan publik. Maka tidak heran, jika ditemukan di perkotaan, dalam
sebulan seperti Kota Luwuk, ada orang yang membelanjakan modal di atas 3 miliar
rupiah sementara di perdesaan petani hanya bisa membelanjakan uangnya rata-rata
paling tinggi 1 juta rupiah. Inilah kesenjangan sekaligus ketidakadilan itu
yang telah berlangsung kurang lebih 20 tahun lamanya, atau “gini rasio” kata
HM.Sofhian Mile.
Dalam
konteks politik, kapitalis akan mengeluarkan uang sebanyak mungkin agar bisa
mendapatkan kekuasaan politik dan ekonomi. Segala macam cara akan ditempuh agar
pucuk kepemimpinan jatuh ke tangannya. Kalau mereka menemukan masyarakat yang
pragmatis, maka timnya akan membagikan uang dengan besaran antara 50-250 ribu, bisa
juga lewat sembako, dan menyumbang rumah ibadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar