Minggu, 06 Desember 2015

20 Tahun Ketidakadilan: Melawan Atau Tergadai

KabarKobar-Manusia adalah “zoonpolitikon”-makluk sosial,” demikian kata Aristoteles. Sehingga manusia adalah satu-satunya makluk hidup yang tidak bisa hidup tanpa melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Hidup secara berkelompok untuk memecahkan masalah dan membangun konsep perlindungan diri. Inilah dasar keyakinan apa yang disebut sebagai politik, yaitu suatu cara untuk mengelola kekuasaan, memberikan perlindungan dan membagi sumber daya bagi keselamatan bersama.


Dalam perkembangan sejarah, tantangan yang hidup yang dihadapi manusia menimbulkan kategori dari hubungan sosial yang berlaku. Pada masa perbudakan melahirkan budak dan tuan budak, feodalisme dan petani, buruh dan pemilik modal. Kategori sosial ini berkembang berdasarkan corak atau hubungan sosial yang berlaku. Kalau pada masa feodalisme dan petani hubungan barter sebagai peninggalan dari masa perbudakan menjadi alat tukar yang ditandai dengan pemberian sebagian hasil produksi petani sebagai upeti.

Hukum besi kapitalisme adalah menendang “tuan rumah” lewat jendela dan menjarah barang berharga yang ditinggalkan. Begitulah paradigma kapitalistik, terajarkan sebagai doktrin trinitas, Gold, Glori dan Gospel. Sejak zaman permulaan awal kolonialisme, raja-raja Eropa punya semboyan,” berlayarlah sejauh mungkin dan dapatkan apa yang berharga buat kita,”.

Doktrin-doktrin menghalalkan segala cara ikut dilayarkan bersamaan dengan misi untuk mendapatkan barang-barang berharga yang berguna dan bisa di jual ke negeri Eropa. Setiap pelayaran yang dilakukan orang-orang berani seperti Colombus, mendapatkan dana dan logistik dari kapitalis sebagai sponsor misi. Setibanya di tanah jajahan, pertama sekali yang dilakukan adalah mengajarkan bujuk rayu pada rakyat, lobby-lobby, kontraktual, perjanjian, adu-domba, dan manajerial pendisiplinan masyarakat.

Dari mereka –kolonialisme, kapitalisme itu diajarkan dan terajarkan.

Dalam sistem kapitalisme, segala hubungan-hubungan lama tergantikan dengan uang sebagai alat tukar. Uang menjadi alat kekuasaan dan wadah penyimpanan nilai untuk menukarkan barang yang diasumsikan sederajat. Secara bersamaan, kehadiran uang telah merobek-robek nilai yang hidup sebelumnya, termasuk menggantikan hubungan darah dengan uang, gotong royong dengan model proyek. Dari situ muncullah apa yang disebut dengan konsep” individualistik dan konsumeristik”.   

Sehingga, pandangan hari depan terbentuk berdasarkan kategori sosial yang berlaku dari pengalaman interaksi. Pengalaman interaksi dalam berbagai hubungan sosial yang berlaku, membentuk mental, paradigma dan pandangan setiap manusia. Ini yang disebut dengan kesadaran kognitif manusia atau konsepsi mental dalam ilmu psyikologis. Dalam soal itulah ide dan praktik manusia ditentukan dalam agenda perebutan kekuasaan melalui medan tarung politik antara paradigma populis-kerakyatan versus kapitalis yang haus keuntungan.

Politik Uang Kapitalis

Dalam merawat kekuasaan politik dan ekonomi, si kapitalis akan menggunakan uang untuk membeli segala syarat-syarat yang diperlukan melanggengkan kekuasaan atas kekayaan. Kapitalis sangat mudah untuk mendapatkan syarat-syarat itu, seperti partai politik yang bisa dibeli, menjadi anggota parlemen dan pun menjadi sang penderma dadakan melalui organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan. Kapitalis memiliki seribu wajah dalam soal-soal kemasyarakatan, dia bisa mendadak jadi sosok agamawan, dermawan, orang baik, dan seterusnya. Satu-satunya yang tidak bisa disembunyikan oleh kapitalis adalah “cara atatu proses penciptaan kekayaan”.

Dari mana segala kekayaan kapitalis berasal? dalam masyarakat agraris tanah menjadi aset penting dalam penciptaan kekayaan sehingga ia disebut konstan kapital. Sementara manusia atau masyarakat petani yang terhempaskan dari lahan disebut tenaga kerja atau variabel kapital. Karena segala-galanya dikuasai atau jatuh dalam kontrol tangan kapitalis, tanah dan tenaga kerja menjadi sumber kekayaan sekaligus. Tetapi segala kontrol itu tidak bisa awet tanpa kekuasaan politik.

Negara paling tidak memiliki kepentingan melalui pengorganisasian rente dan pajak. Karena itu otoritas atas jalannya aktivitas ekonomi mesti mendapatkan persetujuan pemerintah. Kapitalis menjadikan tanah sebagai aset kapital konstan melalui selembaran restu negara yang disebut dengan konsesi.

Konsesi adalah previlege (pengistimewaan) atau hak hukum baru yang diberikan oleh pejabat publik-pemerintah daerah- pada seorang kapitalis dalam bentuk surat berharga. Isi dari surat-surat berharga itu bisa dalam bentuk izin hak guna usaha perkebunan sawit antara 25.-40 ribu hektar; izin Usaha Pertambangan antara 100-5000 hektar; izin hak guna bangunan rumah toko; izin penyaluran bahan bakar (Pompa Bensin); pembangunan hotel; real estate;  kontrak sebagai pihak ketiga pembangunan jalan, jembatan maupun gedung-gedung pemerintah.

Dengan demikian, dalam pembentukan kekayaan kapitalis memiliki dua sumber: Pertama, dari merampas hak rakyat perdesaan melalui hak hukum baru; Kedua, menikmati rente negara melalui pengerjaan proyek-proyek pembangunan pemerintah. Dalam konteks Indonesia sebagai negara agraris, kapitalis umumnya menginginkan keduanya, menjadi pejabat pemerintah sekaligus mendapatkan hak hukum baru. Dari sinilah munculnya apa yang disebut kecenderungan “oligarki” dalam negara dunia ketiga. Dimana pelaku ekonomi sekaligus penikmat rente dari pengumpulan kekayaan publik secara monopolistik karena rangkap jabatan: komisaris perusahaan sekaligus pejabat publik. Mereka bisa menggelapkan, mengemplang dan merahasiakan kekayaan yang dikumpulkan karena kendali kekuasaan politik.

Sebuah penelitian statistik tahun 2011, menyebutkan, di Kabupaten Banggai, sekitar 60 persen dari 80 persen kekayaan publik dikuasai oleh sekitar 20 persen jumlah penduduk. Anda bisa bayangkan, sekitar 80 persen jumlah penduduk memperebutkan 20 persen kekayaan publik. Maka tidak heran, jika ditemukan di perkotaan, dalam sebulan seperti Kota Luwuk, ada orang yang membelanjakan modal di atas 3 miliar rupiah sementara di perdesaan petani hanya bisa membelanjakan uangnya rata-rata paling tinggi 1 juta rupiah. Inilah kesenjangan sekaligus ketidakadilan itu yang telah berlangsung kurang lebih 20 tahun lamanya, atau “gini rasio” kata HM.Sofhian Mile.

Dalam konteks politik, kapitalis akan mengeluarkan uang sebanyak mungkin agar bisa mendapatkan kekuasaan politik dan ekonomi. Segala macam cara akan ditempuh agar pucuk kepemimpinan jatuh ke tangannya. Kalau mereka menemukan masyarakat yang pragmatis, maka timnya akan membagikan uang dengan besaran antara 50-250 ribu, bisa juga lewat sembako, dan menyumbang rumah ibadah.

Agar misinya bisa berjalan, kapitalis akan memelihara pemuda dan intelektual perkotaaan pengangguran dengan bayaran yang cukup. Tidak hanya sebagai karyawan politik tetapi sekaligus sebagai centeng pendisiplinan masyarakat. Sebab, mereka yang paling tahu bagaimana menggunakan kekuasaan untuk menciptakan kekayaan sebanyak mungkin. Dengan demikian, pilkada pada tanggal 9 Desember 2015 adalah pertaruhan 20 tahun ketidakadilan;melawan atau tergadai; menyatukan diri dalam arus yang melawan atau kubu kapitalis; membela yang bayar atau mengabdi pada 360 ribu penduduk Kabupaten Banggai. Saran kami bersatulah! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar