Selasa, 22 Desember 2015

Editorial: “Dosa Asal” Pilkada Banggai

KabarKobar-Sebanyak 120 pasangan calon (paslon) yang bertarung dalam pilkada langsung 9 Desember 2015 resmi mendaftarkan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Di Kabupaten Banggai, paslon nomor urut 1 SmilSuka dan Mutiara nomor urut 2 menjadi bagian di dalamnya. Pendekatan Terstruktur, Sistematis, dan Massif atau yang dikenal dengan istilah TSM masih menjadi dalil utama yang diajukan oleh paslon.  Politik uang ditengarahi menjadi penyebab utama dari kecurangan.


Gugatan hukum pada Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, menjadi opsi tertinggi dari saluran penemuan kecurangan atau tindakan melawan hukum yang menyebabkan kerugian pada paslon tertentu dan merupakan keuntungan bagi paslon lainnya. Dengan demikian, pelaksanaan pilkada langsung kali ini tetap menempatkan ujian integritas bagi penyelenggara pemilu. Munculnya beragam bukti-bukti pengelolaan pilkada yang tidak indefenden, kegiatan politik uang yang massif, mengkonfirmasi bahwa dugaan penyalagunaan fungsi penyelenggara pemilu memang benar adanya.

Siasat (Y)ang diharamkan

Dalam politik, kemenangan bisa diraih dengan cara apa saja, bisa melalui cara mengorbankan moralitas maupun dengan cara-cara pandai yang terhormat. Bersiasat dengan segenap kepandaian juga berlaku dalam politik begitu pula dengan cara-cara yang tidak terhormat. Tetapi dalam mendudukan kehormatan, ia sangat bertalian dengan bagaimana prinsip diteguhkan sebagai warna atau paradigma.

Pengelolaan kekuasaan mengandung maksud dalam suatu lingkaran terhubung pada apa yang dicita-citakan sebagai pandangan dunia dengan apa yang hendak diraih sebagai keuntungan. Tujuan kekuasaan dalam ragam paradigma punya hubungan yang berkonsekwensi pada dua hal; Pertama, hendak menata peradaban meliputi segenap kebutuhan masyarakat, keadilan, pembangunan, akses dan pemerataan penciptaan kekayaan; Kedua, dalam kerangka merusak pranata sosial lewat korupsi, penumpukan harta, dan merebaknya kemiskinan akibat ketidakadilan.

Dalam demokrasi yang dipahami sebagai cara merebut kekuasaan. Bersiasat adalah tipologi sekaligus metodologi yang dimuat dalam satu perahu pemenangan. Ketika bahaya yang muncul dari roda pemenangan dianggap sebagai harapan yang kian sirna, ujian berat akan datang menghampiri para pengelolanya. Tawaran mutlak dari berbagai perancang siasat biasanya datang lebih awal menjelang keruntuhan moralitas akibat kerangka perebutan kekuasaan telah dimainkan dalam irama yang kotor.  

Dalam sudut pandang yang hegemonik, apalagi suasana uang telah merajai seluruh kegiatan politik. Segala kebaikan, kharismatik, dan paradigma seolah-olah sesuatu yang tidak penting lagi untuk dibahas. Nuansa kekerabatan dalam ikatan-ikatan yang arif, tak bisa lagi menjadi alasan meningkatnya loyalitas. Yang hidup adalah memaknai kekuasaan seirama dengan apa yang bisa didapatkan oleh mereka secara tunai.

“Dosa Asal” Penyelenggara

Dalam sejarah peradaban politik dari masa ke masa, tercatat, bahwa penggunaan harta dan iming-iming menjadi senjata paling ampuh dalam rangka merusak mesin penggerak kekuasaan. Korupsi, dan main mata penyelenggara pemilu menjadi sumber mala petaka demokrasi yang mengakibatkan menurunnya kepercayaan publik terhadap politik. Dalam suasana yang serba konspiratif, publik mendapatkan kenyataan dimana sulit menemukan orang-orang yang bisa dipercaya menjaga marwah demokrasi.

Politik seakan-seakan genangan fatamorgana yang wujudnya tak pasti. Masyarakat pemilih menurunkan tingkat kepercayaannya dengan mengambil jalan paling pragmatis. Jauhnya politik dari kegiatan dan rutinitas masyarakat menjadikan mereka tercengkeram dalam kesadaran ekonomis yang mendesak. Satu-satunya harapan yang kelihatan dalam pilkada, politik uang’, demikian ia menyambut si penderma yang datang setiap lima tahun.

Sementara, ide dan gagasan menjadi persoalan berikutnya. Yang dalam faktanya, telah tergantikan oleh hubungan uang. Dinamika organik dalam politik segera punah tergantikan oleh kecenderungan mobilisasi uang sebagai daya pikat. Masalah ini meluas hingga menjadi semacam penyakit keorganisasian, rusaknya kepatuhan partai, mandeknya kaderisasi kepemimpinan dalam kelembagaan politik. Akibatnya, promosi visi-misi hanya sekedar kerja terjadwal untuk menggugurkan tanggung jawab dipihak penyelenggara. Sangkut pautnya bukan pada substansi demokrasi melainkan kejar tayang walaupun potensi sandungan hukum sudah nampak di depan mata.

Begitulah demokrasi yang dibayangi cengkeraman kapitalis. Arena kekuasaan menjadi tempat hitung-hitungan nilai mata uang, angka pengorbanan dan siapa yang dapat memberi uang paling besar. Menjadi penguasa baru yang terus membayangi pelaksanaan demokrasi. Tumbuhnya kekuasaan bayangan di luar skenario resmi akibat mudahnya aliran uang meretas tanggung jawab penyelenggara pemiluk atau pilkada.

Ibarat main bola, wasit dan hakim garis turut memihak kesebelasan yang bertanding. Nalar dan tanggung jawab menjadi sirna oleh iming-iming kekayaan. Ini bukan soal ketakutan mempertanggungjawabkan sikap atas penerimaan hasil, tetapi hasil apa yang diharapkan dari pertandingan yang kotor. Dengan demikian, jika keadaan telah demikian parahnya, siapa yang layak disebut pemenang dan pecundang?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar