KabarKobar-Sebanyak
120 pasangan calon (paslon) yang bertarung dalam pilkada langsung 9 Desember
2015 resmi mendaftarkan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Di Kabupaten
Banggai, paslon nomor urut 1 SmilSuka dan Mutiara nomor urut 2 menjadi bagian
di dalamnya. Pendekatan Terstruktur, Sistematis, dan Massif atau yang dikenal
dengan istilah TSM masih menjadi dalil utama yang diajukan oleh paslon. Politik uang ditengarahi menjadi penyebab utama dari kecurangan.
Gugatan
hukum pada Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, menjadi opsi tertinggi
dari saluran penemuan kecurangan atau tindakan melawan hukum yang menyebabkan
kerugian pada paslon tertentu dan merupakan keuntungan bagi paslon lainnya.
Dengan demikian, pelaksanaan pilkada langsung kali ini tetap menempatkan ujian
integritas bagi penyelenggara pemilu. Munculnya beragam bukti-bukti pengelolaan
pilkada yang tidak indefenden, kegiatan politik uang yang massif,
mengkonfirmasi bahwa dugaan penyalagunaan fungsi penyelenggara pemilu memang
benar adanya.
Siasat (Y)ang diharamkan
Dalam
politik, kemenangan bisa diraih dengan cara apa saja, bisa melalui cara mengorbankan
moralitas maupun dengan cara-cara pandai yang terhormat. Bersiasat dengan
segenap kepandaian juga berlaku dalam politik begitu pula dengan cara-cara yang
tidak terhormat. Tetapi dalam mendudukan kehormatan, ia sangat bertalian dengan
bagaimana prinsip diteguhkan sebagai warna atau paradigma.
Pengelolaan
kekuasaan mengandung maksud dalam suatu lingkaran terhubung pada apa yang
dicita-citakan sebagai pandangan dunia dengan apa yang hendak diraih sebagai
keuntungan. Tujuan kekuasaan dalam ragam paradigma punya hubungan yang
berkonsekwensi pada dua hal; Pertama,
hendak menata peradaban meliputi segenap kebutuhan masyarakat, keadilan,
pembangunan, akses dan pemerataan penciptaan kekayaan; Kedua, dalam kerangka merusak pranata sosial lewat korupsi,
penumpukan harta, dan merebaknya kemiskinan akibat ketidakadilan.
Dalam
demokrasi yang dipahami sebagai cara merebut kekuasaan. Bersiasat adalah
tipologi sekaligus metodologi yang dimuat dalam satu perahu pemenangan. Ketika
bahaya yang muncul dari roda pemenangan dianggap sebagai harapan yang kian
sirna, ujian berat akan datang menghampiri para pengelolanya. Tawaran mutlak
dari berbagai perancang siasat biasanya datang lebih awal menjelang keruntuhan
moralitas akibat kerangka perebutan kekuasaan telah dimainkan dalam irama yang
kotor.
Dalam
sudut pandang yang hegemonik, apalagi suasana uang telah merajai seluruh
kegiatan politik. Segala kebaikan, kharismatik, dan paradigma seolah-olah
sesuatu yang tidak penting lagi untuk dibahas. Nuansa kekerabatan dalam
ikatan-ikatan yang arif, tak bisa lagi menjadi alasan meningkatnya loyalitas.
Yang hidup adalah memaknai kekuasaan seirama dengan apa yang bisa didapatkan
oleh mereka secara tunai.
“Dosa Asal” Penyelenggara
Dalam
sejarah peradaban politik dari masa ke masa, tercatat, bahwa penggunaan harta
dan iming-iming menjadi senjata paling ampuh dalam rangka merusak mesin
penggerak kekuasaan. Korupsi, dan main mata penyelenggara pemilu menjadi sumber
mala petaka demokrasi yang mengakibatkan menurunnya kepercayaan publik terhadap
politik. Dalam suasana yang serba konspiratif, publik mendapatkan kenyataan
dimana sulit menemukan orang-orang yang bisa dipercaya menjaga marwah
demokrasi.
Politik
seakan-seakan genangan fatamorgana yang wujudnya tak pasti. Masyarakat pemilih
menurunkan tingkat kepercayaannya dengan mengambil jalan paling pragmatis. Jauhnya
politik dari kegiatan dan rutinitas masyarakat menjadikan mereka tercengkeram
dalam kesadaran ekonomis yang mendesak. Satu-satunya harapan yang kelihatan
dalam pilkada, politik uang’, demikian ia menyambut si penderma yang datang
setiap lima tahun.
Sementara,
ide dan gagasan menjadi persoalan berikutnya. Yang dalam faktanya, telah
tergantikan oleh hubungan uang. Dinamika organik dalam politik segera punah
tergantikan oleh kecenderungan mobilisasi uang sebagai daya pikat. Masalah ini
meluas hingga menjadi semacam penyakit keorganisasian, rusaknya kepatuhan partai,
mandeknya kaderisasi kepemimpinan dalam kelembagaan politik. Akibatnya, promosi
visi-misi hanya sekedar kerja terjadwal untuk menggugurkan tanggung jawab
dipihak penyelenggara. Sangkut pautnya bukan pada substansi demokrasi melainkan
kejar tayang walaupun potensi sandungan hukum sudah nampak di depan mata.
Begitulah
demokrasi yang dibayangi cengkeraman kapitalis. Arena kekuasaan menjadi tempat
hitung-hitungan nilai mata uang, angka pengorbanan dan siapa yang dapat memberi
uang paling besar. Menjadi penguasa baru yang terus membayangi pelaksanaan
demokrasi. Tumbuhnya kekuasaan bayangan di luar skenario resmi akibat mudahnya
aliran uang meretas tanggung jawab penyelenggara pemiluk atau pilkada.
Ibarat
main bola, wasit dan hakim garis turut memihak kesebelasan yang bertanding. Nalar
dan tanggung jawab menjadi sirna oleh iming-iming kekayaan. Ini bukan soal
ketakutan mempertanggungjawabkan sikap atas penerimaan hasil, tetapi hasil apa
yang diharapkan dari pertandingan yang kotor. Dengan demikian, jika keadaan
telah demikian parahnya, siapa yang layak disebut pemenang dan pecundang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar