KabarKobar-“tidak
ada makan siang gratis,” demikian pepatah moderen yang seringkali kita
dengarkan. Apa artinya? Bahwa dalam hukum operasi pemilik modal selalu akan
diakhiri dengan pengembalian modal awal dan pembangunan selisih berdasarkan
jangka waktu. Keluaran dari itu semua itu adalah keuntungan dari manfaat
sebagai efek ekonomi kekuasaan.
Demokrasi
langsung mensyaratkan adanya dukungan langsung dari penduduk suatu negara atau
daerah dalam memberikan suaranya. Kandidat diberikan kesempatan mempromosikan
profile pribadinya, visi-misi serta program yang ditawarkan kepada konstituten
atau pemilih. Begitu pula dalam menjaring pemilih, setiap kandidat diberikan
kesempatan untuk membangun perangkat suksesi seperti partai pengusung, relawan,
simpatisan dan group-group pemenangan yang terstruktur dari tingkat kabupaten
hingga ke desa-desa, bahkan tps.
Dua hal
itu memiliki konsekwensi; pertama, ongkos politik untuk membiayai operasional
dan alat-alat peraga dalam rangka meluaskan pengaruh; Kedua, ongkos untuk
membiayai kebutuhan-kebutuhan lain dalam rangka menjaring pemilih. Setiap
kandidat akan perlu ongkos yang dipersiapkan walaupun negara telah memberikan
subsidi untuk kebutuhan tertentu, seperti alat peraga dan lain-lain yang
dicetak sesuai item yang telah disediakan.
Negara
memberikan ongkos pada beberapa item untuk menghindari penggunaan politik uang
dalam menjaring pemilih. Banyak kasus-kasus kecurangan terjadi karena dipicu
oleh penggunaan dana yang tidak seimbang di antara setiap kandidat. Jika
seorang kandidat yang memiliki modal pas-pasan tetapi memiliki visi-misi
program, rekam jejak, dan segudang prestasi akan mungkin dikalahkan oleh
kandidat walaupun tak memiliki program yang jelas serta rekam jejak yang buruk.
Tetapi memiliki dana yang tidak terbatas.
Ketika
dana yang tidak terbatas digunakan sebagai cara untuk memenangkan konstestasi,
secara otomatis tawar menawar atau jual beli suara, menjadi satu-satunya
strategi yang memungkinkan. Inilah yang disebut dengan politik uang. Seorang
kandidat yang memiliki tingkat elektabilitas rendah tetapi memiliki dana yang
tidak terbatas akan menggunakan politik uang mengubah keadaan.
Walaupun
telah disiarkan dalam berbagai survey resmi menggunakan metode yang sahi dan
akurat, tetapi fakta pada hari pencoblosan bisa saja berkata lain. Begitulah
para pemilik modal yang maju sebagai kandidat, ia tak pusing dengan tingkat
elektabilitas tetapi lebih mengedepankan penyaluran uang bisa tersebar merata
pada spot-spot pemilih yang padat. Seluruh perangkat kerja pemilihan akan
dipengaruhi dengan kekuatan uang, termasuk memanipulasi administrasi pemilih
untuk mensiasati kantong-kantong suara.
Di
sinilah titik perbedaan utama antara ongkos politik dan politik uang. Ongkos
politik adalah biaya yang dikeluarkan untuk seorang kandidat untuk operasional
perangkat pemenangan. Bisa dalam bentuk biaya konsumsi, alat-alat peraga dan
konsolidasi politik. Dalam batasan tertentu, ongkos politik hanya berguna dalam
tingkat membangun opini dan meluaskan pengaruh.
Sementara
itu, politik uang adalah suatu strategi penggunaan kekuatan uang oleh kandidat
tertentu untuk mempengaruhi keputusan pemilih sebagai tawar-menawar suara. Dari
peredaran uang akan melahirkan asumsi nilai mata uang tersepakati karena
berlaku umum. Artinya uang tersebar di banyak titik-titik konsentrasi suara,
baik yang diberikan lewat uang tunai, sembako, maupun pembiayaan secara
kelompok lewat kegiatan-kegiatan sosial dan agama, olah raga dengan massif.
Pendek
kata, politik uang adalah upaya untuk memenangkan kontestasi politik oleh
kandidat tertentu dengan cara membeli suara sekaligus penyelenggara. Sementara
itu, ongkos politik adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka membangun
perspektif, promosi program dan operasional tenaga pemenangan. Jika dari sisi
ongkos politik dan penggunaan politik uang tidak seimbang, maka sudah otomatis
yang banyak uang lah keluar sebagai pemenang. Kandidat yang hanya mengandalkan
doa dan usaha murni akan terkalahkan atau dikalahkan, baik yang dilakukan
berdasarkan kerjasama penyelenggara maupun dari suara yang dibeli dari
masyarakat secara bodong.
Seorang
kandidat yang menggunakan politik uang biasanya tidak berdiri sendiri. Biasanya
dana yang digunakan bersumber dari pihak ketiga, bisa jadi adalah kolega
bisnis, saudara kandung, ipar, dan bahkan mungkin mertua yang kaya raya. Inilah
yang disebut sebagai sponsor politik. Mereka adalah terdiri dari pemilik modal
yang memiliki banyak uang dengan maksud membiayai politik uang untuk
mendapatkan manfaat jangka panjang dari kekuasaan.
Ketika
kandidat yang dijagokan telah terpilih. Maka proposal penawaran pembagian kue
kekuasaan dilakukan antara sponsor yang terlibat dengan kandidat yang didukung.
Besaran kue kekuasaan sangat dipengaruhi oleh jumlah nilai mata uang yang diambil
sebagai akad politik. Beberapa pengalaman dari cerita pilkada, ada yang
menginginkan perluasan perkebunan sawit, tambang, dan jenis-jenis konsesi lain
dalam bentuk surat berharga yang bisa diagunkan dengan cepat ke pihak interest
seperti bank, koperasi, dan finance untuk segera membentuk modal awal.
Yang
lain adalah pembagian jatah proyek pembangunan berdasarkan cluster anggaran
yang tersedia dan jenis pekerjaan yang menguntungkan. Dalam konsolidasi
pembagian kue, rakyat yang telah dibeli suaranya jauh sekali dari hiruk-pikuk
kegiatan semacam ini. Biasanya mereka hanya penerima manfaat dari kegiatan
pembagian kue, misalnya, kemiskinan yang lebih awet, banjir, kekeringan,
korupsi dan manipulasi pajak yang berujung dalam munculnya oligarki dalah
kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar