Sejumlah
penelitian di masa sekarang menemukan banyak sekali aneka kekayaan alam, mulai
dari potensi bahari, mineral serta minyak dan gas bumi. Pada dataran tanah yang
landai ditumbuhi aneka khas pertanian mulai dari skala pertanian rumah tangga
hingga perkebunan skala komersial. Sementara pada dataran tinggi dihidupi hutan
lebat.
Hutan
lebat Kabupaten Banggai pada masa lalu menyingkap tabir buldozer yang meraung
tanpa hambatan. Tegakan hutan lebat yang berisi pohon berkelas seperti meranti,
sengon dan palapi, habis ditebang dan diekonomiskan. Banyak sekali konglomerat
tumbuh subur dan kaya raya oleh periode “bisnis kayu’ dan hasil-hasil hutan
lainnya. Disusul periode sawitisasi, tambakisasi, dan bisnis skala lahan yang
luas lainnya berkembang pesat sejak itu.
Disparitas Desa-Kota
Perginya
hasil-hasil alam selama beberapa dekade tidak kunjung membuat perdesaan
Kabupaten Banggai dilirik sebagai subjek pertumbuhan. Produktivitas masyarakat
perdesaan tidak mengalami perubahan yang signifikan, sebelum persaingan usaha
tani berkembang pasca masuknya transmigrasi. Sebaliknya, Kota Luwuk, menjadi
menara peradaban yang merangsang masyarakat perdesaan berlari ke kota menjadi
masyarakat urban.
Disparitas
pembangunan Desa-Kota juga diikuti dengan disparitas pendapatan setiap keluarga
dalam unit terkecil garis keturunan pertama. Luwuk terbangun ruko-ruko khas
kota moderen, sektor jasa tumbuh subur, pasar berkembang yang mengakibatkan
seluruh sumber daya berjalan dan terpusat di Kota. Perhatian pemerintah hanya
berkutat pada soal memenuhi kebutuhan orang kota, membangun kantor megah,
membangun rumah jabatan yang indah, dan taman-taman dipegunungan yang bernuansa
garnisun Eropa Abad ke 19.
Tanpa
disadari, pembangunan perkotaan yang maha hebat bukanlah jawaban terhadap
disparitas pendapatan desa dan kota. Alih-alih menetap di desa, semakin
gemerlapnya Kota Luwuk, desa pun tidak terjamah. Ratusan bahkan ribuan tenaga
produktif setiap tahunnya membanjiri Kota Luwuk sebagai pencari kerja. Apa
lacur? Sebagian desa ditinggalkan.
Tantangan
Ketika
pemerintahan Sofhian Mile yang baru seumur jagung, ia bertekad untuk mengubah paradigma
pembangunan yang sebelumnya sangat “Kota Sentris” menjadi serba “Dari Desa”.
Apa konsekwensi dari VISI ini? Terdapat kurang lebih 300 jumlah Desa di
Kabupaten Banggai yang mungkin dalam kadar tertentu memerlukan sentuhan
pembangunan yang sama.
Pertama, infrastruktur, perdesaan yang lama
ditinggalkan akan membutuhkan puluhan bahkan ribuan jalan kantong produksi,
jalan usaha tani, perbaikan irigasi yang mulai tua, gedung-gedung sekolah yang
mulai reot; Kedua, penyelamatan lahan
atau distribusi lahan kepada sebagian petani penggarap yang tak bermilik tanah;
Ketiga, Memproteksi areal pertanian
dari alih fungsi lahan skala besar; Keempat,
pembangunan manusia dan perspektif desa agar manusia di perdesaan dapat
menjadikan desa sebagai titik berangkat.
Semua
pekerjaan ini mendapati rintangan yang maha hebat. Pengetatan anggaran,
penghematan biaya, dan sinkronisasi program tiap SKPD menjadi agenda serius
yang terus digulati Sofhian Mile. Anggaran pajak perkotaan dimaksilkan yang
dulu hanya 5 miliar, pada masa pemerintahannya mencapai 35 miliar. Belanja
daerah pun demikian, dihemat sedemikian rupa agar pembangunan perdesaan dan
target pertumbuhan bisa segera dicapai.
Bahkan
yang paling tragis, Sofhian Mile tidak membeli mobil dinas baru mau perabot
rumah tangga baru. Orang nomor satu di Kabupaten Banggai tersebut menggunakan “barang
bekas”. Sampai sekarang, Sofhian Mile masih menggunakan mobil yang dibeli tahun
2007 oleh Bupati Lama” delapan tahun lalu. Hasilnya, Menteri Pembangunan Desa
Tertinggal (PDT) memberikan penghargaan” pada Sofhian Mile, berhasil
menghempaskan Banggai dari status “Desa tertinggal”.
Zero Disparitas Desa Kota
“Belum
maksimal, masih banyak potensi yang perlu dikembangkan,” demikian petikan
Sofhian Mile saat ditanya soal pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banggai yang
mencapai 16,9 persen. Mengapa ini penting? Desa sebagai subjek pembangunan dan
petani sebagai aktor utama penggerak ekonomi memberikan konfirmasi yang kuat.
Bahwa akselerasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kabupaten Banggai bukan
saja menguji adrenalin tetapi memberikan keyakinan yang kuat, bahwa membangun
dari desa adalah perspektif.
Keberanian
Sofhian Mile mengambil jalan pembangunan dari desa bukan tanpa resiko. Kota
menjadi seperti ditinggalkan, sebab pertumbuhan fisik perkotaan akan mengalami
perlambatan untuk menekan disparitas desa-desa di Kabupaten Banggai dengan
Kawasan Perkotaan Luwuk. Ujian ini dengan sempurna dilewati oleh Sofhian Mile
yang berjalan tegar dalam fitnah dan cercaan. Walhasil, menutup kegundahan
banyak warga kota, ratusan jalan kantong produksi, usaha tani, rumah sakit,
sekolah dan bibit telah dibangun dan dibagikan kemanfaatannya untuk masyarakat
perdesaan.
Pembangunan
perkotaan pun sekarang mulai digalakkan seiring dengan pencapaian pembangunan
perdesaan. Layanan publik SATU ATAP; menjadi basis penghubung komunikasi yang
sederajat antara masyarakat Desa dan Kota. Dimana, pelayanan publik dikerjakan
dengan melibatkan sumber daya gabungan dari tiap divisi pemerintahan atau SKPD,
kependudukan, Kesehatan dan Pendidikan
dan lain-lain. Selain itu, juga dibangun posko-posko relawan SATU ATAP yang
berprinsip ‘jemput bola”. Setiap saat mengunjung penduduk desa, baik dikebun,
di sawah atau di pasar bila tak di rumah. Untuk memastikan pelayanan ini
benar-benar memenuhi harapan masyarakat.
Pelayanan
administrasi publik semacam ini merupakan gambaran pelayanan paripurna di masa
depan; atau suatu pra kondisi menuju Banggai Maju. Inilah alasan mengapa
pemerintahan Sofhian Mile harus dilanjutkan: Saatnya SATU tujuan mewujudkan “Zero
Disparitas Desa dan Kota”. (tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar