Selasa, 15 September 2015

Satu Perspektif: Wujudkan Zero Disparitas Desa-Kota

Kabar Kobar- Kabupaten Banggai adalah surga bagi investasi. Sejak kelahirannya, tanah Babasal hampir tak pernah padam dari serbuan interest dari luar. Mulai dari kepentingan pada masa perang kerajaan, kepentingan kolonial, orde baru, hingga orde paling baru sekarang ini. Abad 14 yang tercatat atau dipercayai sebagai kelahiran peradaban Babasal yang dihidupi tak pernah sepi dari gejolak. Selain karena hidup diantara ambisi kerajaan tetangga maupun karena surga alamnya yang melimpah.
Kelapa menjadi salah satu komoditi ekspor andalan pada masa kolonial. Tercatat lebih dari delapan gudang konsentrasi yang dikelola koperasi warisan Belanda dan diteruskan pada era Soekarno. Perdagangan kelapa dari Kabupaten Banggai menjadi perangsang pelabuhan moderen di daerah tersebut. Migrasi pekerja lokal, maupun dari luar, termasuk pulau jawa segera membanjiri pasca ledakan booming kelapa yang disusul program transmigrasi pada sekitar tahun 1980-an.

Sejumlah penelitian di masa sekarang menemukan banyak sekali aneka kekayaan alam, mulai dari potensi bahari, mineral serta minyak dan gas bumi. Pada dataran tanah yang landai ditumbuhi aneka khas pertanian mulai dari skala pertanian rumah tangga hingga perkebunan skala komersial. Sementara pada dataran tinggi dihidupi hutan lebat.

Hutan lebat Kabupaten Banggai pada masa lalu menyingkap tabir buldozer yang meraung tanpa hambatan. Tegakan hutan lebat yang berisi pohon berkelas seperti meranti, sengon dan palapi, habis ditebang dan diekonomiskan. Banyak sekali konglomerat tumbuh subur dan kaya raya oleh periode “bisnis kayu’ dan hasil-hasil hutan lainnya. Disusul periode sawitisasi, tambakisasi, dan bisnis skala lahan yang luas lainnya berkembang pesat sejak itu.

Disparitas Desa-Kota

Perginya hasil-hasil alam selama beberapa dekade tidak kunjung membuat perdesaan Kabupaten Banggai dilirik sebagai subjek pertumbuhan. Produktivitas masyarakat perdesaan tidak mengalami perubahan yang signifikan, sebelum persaingan usaha tani berkembang pasca masuknya transmigrasi. Sebaliknya, Kota Luwuk, menjadi menara peradaban yang merangsang masyarakat perdesaan berlari ke kota menjadi masyarakat urban.

Disparitas pembangunan Desa-Kota juga diikuti dengan disparitas pendapatan setiap keluarga dalam unit terkecil garis keturunan pertama. Luwuk terbangun ruko-ruko khas kota moderen, sektor jasa tumbuh subur, pasar berkembang yang mengakibatkan seluruh sumber daya berjalan dan terpusat di Kota. Perhatian pemerintah hanya berkutat pada soal memenuhi kebutuhan orang kota, membangun kantor megah, membangun rumah jabatan yang indah, dan taman-taman dipegunungan yang bernuansa garnisun Eropa Abad ke 19.

Tanpa disadari, pembangunan perkotaan yang maha hebat bukanlah jawaban terhadap disparitas pendapatan desa dan kota. Alih-alih menetap di desa, semakin gemerlapnya Kota Luwuk, desa pun tidak terjamah. Ratusan bahkan ribuan tenaga produktif setiap tahunnya membanjiri Kota Luwuk sebagai pencari kerja. Apa lacur? Sebagian desa ditinggalkan.

Tantangan

Ketika pemerintahan Sofhian Mile yang baru seumur jagung, ia bertekad untuk mengubah paradigma pembangunan yang sebelumnya sangat “Kota Sentris” menjadi serba “Dari Desa”. Apa konsekwensi dari VISI ini? Terdapat kurang lebih 300 jumlah Desa di Kabupaten Banggai yang mungkin dalam kadar tertentu memerlukan sentuhan pembangunan yang sama.

Pertama, infrastruktur, perdesaan yang lama ditinggalkan akan membutuhkan puluhan bahkan ribuan jalan kantong produksi, jalan usaha tani, perbaikan irigasi yang mulai tua, gedung-gedung sekolah yang mulai reot; Kedua, penyelamatan lahan atau distribusi lahan kepada sebagian petani penggarap yang tak bermilik tanah; Ketiga, Memproteksi areal pertanian dari alih fungsi lahan skala besar; Keempat, pembangunan manusia dan perspektif desa agar manusia di perdesaan dapat menjadikan desa sebagai titik berangkat.

Semua pekerjaan ini mendapati rintangan yang maha hebat. Pengetatan anggaran, penghematan biaya, dan sinkronisasi program tiap SKPD menjadi agenda serius yang terus digulati Sofhian Mile. Anggaran pajak perkotaan dimaksilkan yang dulu hanya 5 miliar, pada masa pemerintahannya mencapai 35 miliar. Belanja daerah pun demikian, dihemat sedemikian rupa agar pembangunan perdesaan dan target pertumbuhan bisa segera dicapai.

Bahkan yang paling tragis, Sofhian Mile tidak membeli mobil dinas baru mau perabot rumah tangga baru. Orang nomor satu di Kabupaten Banggai tersebut menggunakan “barang bekas”. Sampai sekarang, Sofhian Mile masih menggunakan mobil yang dibeli tahun 2007 oleh Bupati Lama” delapan tahun lalu. Hasilnya, Menteri Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) memberikan penghargaan” pada Sofhian Mile, berhasil menghempaskan Banggai dari status “Desa tertinggal”.

Zero Disparitas Desa Kota

“Belum maksimal, masih banyak potensi yang perlu dikembangkan,” demikian petikan Sofhian Mile saat ditanya soal pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banggai yang mencapai 16,9 persen. Mengapa ini penting? Desa sebagai subjek pembangunan dan petani sebagai aktor utama penggerak ekonomi memberikan konfirmasi yang kuat. Bahwa akselerasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kabupaten Banggai bukan saja menguji adrenalin tetapi memberikan keyakinan yang kuat, bahwa membangun dari desa adalah perspektif.

Keberanian Sofhian Mile mengambil jalan pembangunan dari desa bukan tanpa resiko. Kota menjadi seperti ditinggalkan, sebab pertumbuhan fisik perkotaan akan mengalami perlambatan untuk menekan disparitas desa-desa di Kabupaten Banggai dengan Kawasan Perkotaan Luwuk. Ujian ini dengan sempurna dilewati oleh Sofhian Mile yang berjalan tegar dalam fitnah dan cercaan. Walhasil, menutup kegundahan banyak warga kota, ratusan jalan kantong produksi, usaha tani, rumah sakit, sekolah dan bibit telah dibangun dan dibagikan kemanfaatannya untuk masyarakat perdesaan.

Pembangunan perkotaan pun sekarang mulai digalakkan seiring dengan pencapaian pembangunan perdesaan. Layanan publik SATU ATAP; menjadi basis penghubung komunikasi yang sederajat antara masyarakat Desa dan Kota. Dimana, pelayanan publik dikerjakan dengan melibatkan sumber daya gabungan dari tiap divisi pemerintahan atau SKPD, kependudukan, Kesehatan  dan Pendidikan dan lain-lain. Selain itu, juga dibangun posko-posko relawan SATU ATAP yang berprinsip ‘jemput bola”. Setiap saat mengunjung penduduk desa, baik dikebun, di sawah atau di pasar bila tak di rumah. Untuk memastikan pelayanan ini benar-benar memenuhi harapan masyarakat.

Pelayanan administrasi publik semacam ini merupakan gambaran pelayanan paripurna di masa depan; atau suatu pra kondisi menuju Banggai Maju. Inilah alasan mengapa pemerintahan Sofhian Mile harus dilanjutkan: Saatnya SATU tujuan mewujudkan “Zero Disparitas Desa dan Kota”. (tim)  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar