Senin, 26 Oktober 2015

Dongeng Investasi dan Kematian Petani

"Petani adalah Soko Guru Ekonomi Bangsa"

  Kekeliruan mendasar dari argumen pasangan calon Mamun-Batia dan Herwin-Mustar dalam debat kandidat tanggal 24/10/2015/ yang berasumsi bahwa investasi perkebunan kelapa sawit adalah jawaban bagi serapan tenaga kerja. Dalam penjelasan mereka, berusaha meyakinkan audiens yang menyaksikan debat bahwa tidak ada masalah dengan investasi perkebunan sawit; yang penting tidak masuk kawasan hutan dan sebagainya. 

Dikiranya, datangnya sawit maka seketika orang-orang perdesaan bisa berganti minuman dari teh pahit menjadi coca-cola; dari makan nasi beralih makan sandwich; dari sekolah di Tetelara atau Honbola bisa sekolah di Internasional school. Sungguh pernyataan yang didasarkan pada asumsi sepihak; kalau tidak mau disebut kedudukannya sebagai pemilik modal.

Perkebunan skala besar dalam jawatan kolonial disebut tanah onderneming yang diberi hak kuasa eksklusif oleh pemerintahan Kolonial pada perusahaan swasta. Model pemberian konsesi skala luas ini berakar pada kebijakanpemerintah kolonial Belanda sejak 1870, yang menempatkan Indonesia sebagai tempat produksi komoditas global (Fauzi, 1999). Tanah –tanah rakyat yang semula dijadikan sebagai areal gembala ternak, pertanian subsisten, diubah menjadi areal perkebunan besar untuk menghasilkan ragam komoditas global seperti sawit, karet dan sebagainya yang dibutuhkan industri di Eropa, bukan untuk konsumsi dalam negeri.

Salah satu yang tidak diketahui oleh kandidat ini bahwa ketika tanah-tanah pertanian dijadikan sebagian lahan sawit maka segera petani kehilangan pekerjaan. Mereka akan menjadi barisan pencari kerja yang tidak semuanya akan ditampung oleh usaha penerima kerja yang terbatas. Dengan demikian, syarat utama dari perluasaan perkebunan berbasis komditas sawit adalah melucuti petani dari pekerjannya. Menjadikan petani sebagai pekerja tanpa alat produksi alias pengganguran dan calon tenaga kerja yang siap dibayar murah. 

Tiga Poros Oligarki Banggai

Dalam kasus Kabupaten Banggai pemberian konsesi dalam skala besar berawal pada akhir 1980-an. Dimulai dari terbitnya Hutan Tanaman Industri, lalu disusul perkebunan sawit. Sementara itu, konsesi eks onderneming berupa kebun-kebun kelapa tidak diambil alih negara untuk dibagikan pada petani sekitar, tetapi dikuasai dalam bentuk HGU baru oleh jutawan lokal. Dari ragam bisnis ini tumbuhlah konglomerasi Banggai yang berporos pada tiga kekuatan ekonomi besar. Mereka adalah Sental Sulawesi; Kurnia Luwuk Sejati; Keluarga Bisnis Nayoan. 

Dalam perjalannya, tiga kekuatan saling bersaing mendapatkan hak previlege dari pemerintah daerah yang berkuasa pada masa itu. Mereka mempengaruhi jalannya pemerintahan dengan mengintervensi pranata hukum, legislatif dan eksekekutif. Dalam momentum sirkulasi pemerintahan daerah mereka kadang berafiliasi dalam kendaraan politik yang sama, dan tidak jarang berpisah bahkan berkelahi yang melibatkan front luas. Tidak salah, kelompok pressure group yang tumbuh subur pasca reformasi menjadi kuda pacuan yang berbaris terlibat dalam medan tempur semu.

Intervensi politik diyakini sebagai jalan untuk mengurangi resiko bisnis. Dengan kekuasaan yang disetir dari waktu ke waktu segala bisnis yang menyengsarakan masyarakat perdesaan ini berjalan normal. Seolah-olah tidak ada petani yang dipenjara, tidak ada petani yang miskin. Derita warga Tetelara yang dibakar pondoknya persis di atas sawah garapannya hilang dari hiruk-pikuk politik, saat pagi buldozer perusahaan siap menggusur dan mengganti padai mereka dengan sawit.

Dari Kematian Petani Menuju Kebangkitan

Kasus Tetelara dan Honbola menjadi saksi kunci ganasnya perluasan komoditas yang tidak pernah diakui oleh politisi yang berlawanan dengan Sofhian Mile sebagai kejahatan besar dari Kapitalis agraria. Mereka menderita dalam kemiskinan memungut buah sawit, mengendap-ngendap di balik pohon-pohon berduri agar bisa makan. Mereka bukan orang asing; mereka adalah pemilik ulayat yang lahir sebagai anak adat Saluan dan Taa. Demikian pula dengan warga transmigrasi yang telah diakui sebagai kesatuan penduduk Banggai. Tanah Mereka dilenyapkan fungsinya sebagai sumber kehidupan petani. 

Persis seperti apa yang tertulis dalam buku Age of Extremes, The Short Twentieth Century, 1914–1991, karya sejarawan Inggris Eric Hobsbawm (1994). Ia menulis bahwa “perubahan yang paling dramatis paruh abad ini dan membedakan kita dengan masa lampau adalah matinya kaum petani (the death of the peasantry)”. Petani adalah kelompok rakyat di pedesaan yang hidup dari kegiatan pertanian, peternakan, atau perikanan dalam ragam ekosistem, termasuk persawahan, perladangan, pengumpulan hasil hutan/laut, penggembalaan, dengan unit utama kepemilikan dan produksi adalah keluarga.

Kematian petani adalah gambaran relung sunyi yang absen selama berpuluh tahun. Hal itulah yang melanda sebagian petani perdesaan Kabupaten Banggai. Terlalu banyak, bahkan amat panjang rentetan peristiwa yang memilukan dihadapi petani Banggai terkait dengan ketidakadilan akses sumber-sumber agraria. Tetapi hanya sedikit diantara mereka yang berani membuka ‘aib” yang memalukan itu. Siapa saja yang berani membuka itu? Mereka adalah Eva Bande, dan Serikat Petani Batui-Toili Raya, KOPI dan individu yang setia dengan pembelaan terhadap petani perdesaan.

Tetapi sekarang, tuturan penindasan dan penistaan terhadap petani perdesaan tidak lagi berkawan sunyi. Seorang pemimpin yang berwibawa dan berani menunjuk hidung investor. Dia adalah Sofhian Mile yang menolak memberi ruang bagi perluasan produksi komoditas berbasis kelapa sawit. Selama memimpin perhatiannya diarahkan untuk membangun Banggai Dari pinggiran; tepatnya dari Desa.

Pada tahun 2015, sebanyak 600 juta dana segar digelontorkan ke perdesaan agar petani dapat berdaya dan tidak menjual tanahnya. Mengajak petani mencintai desa, hidup dan menata masa depan dengan sumber-sumber agraria. “Saya minta persatuan dari petani, saya ingin minta tolong agar lahan dilindungi jangan dijual, petani tidak bertani di awan, tetapi di atas lahan,” ujarnya. Sungguh pernyataan ekonomi kemanusiaan yang melihat desa sebagai basis masa depan Kabupaten Banggai, bukan janji kosong konglomerat atau Kapitalis Agraria.(tim)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar