"Petani adalah Soko Guru Ekonomi Bangsa"
Kekeliruan
mendasar dari argumen pasangan calon Mamun-Batia dan Herwin-Mustar dalam debat
kandidat tanggal 24/10/2015/ yang berasumsi bahwa investasi perkebunan kelapa
sawit adalah jawaban bagi serapan tenaga kerja. Dalam penjelasan mereka,
berusaha meyakinkan audiens yang menyaksikan debat bahwa tidak ada masalah
dengan investasi perkebunan sawit; yang penting tidak masuk kawasan hutan dan
sebagainya.
Dikiranya,
datangnya sawit maka seketika orang-orang perdesaan bisa berganti minuman dari
teh pahit menjadi coca-cola; dari makan nasi beralih makan sandwich; dari
sekolah di Tetelara atau Honbola bisa sekolah di Internasional school. Sungguh
pernyataan yang didasarkan pada asumsi sepihak; kalau tidak mau disebut
kedudukannya sebagai pemilik modal.
Perkebunan
skala besar dalam jawatan kolonial disebut tanah onderneming yang diberi hak kuasa eksklusif oleh pemerintahan
Kolonial pada perusahaan swasta. Model pemberian konsesi skala luas ini berakar
pada kebijakanpemerintah kolonial Belanda sejak 1870, yang menempatkan
Indonesia sebagai tempat produksi komoditas global (Fauzi, 1999). Tanah –tanah
rakyat yang semula dijadikan sebagai areal gembala ternak, pertanian subsisten,
diubah menjadi areal perkebunan besar untuk menghasilkan ragam komoditas global
seperti sawit, karet dan sebagainya yang dibutuhkan industri di Eropa, bukan
untuk konsumsi dalam negeri.
Salah satu
yang tidak diketahui oleh kandidat ini bahwa ketika tanah-tanah pertanian
dijadikan sebagian lahan sawit maka segera petani kehilangan pekerjaan. Mereka
akan menjadi barisan pencari kerja yang tidak semuanya akan ditampung oleh
usaha penerima kerja yang terbatas. Dengan demikian, syarat utama dari
perluasaan perkebunan berbasis komditas sawit adalah melucuti petani dari
pekerjannya. Menjadikan petani sebagai pekerja tanpa alat produksi alias
pengganguran dan calon tenaga kerja yang siap dibayar murah.
Tiga
Poros Oligarki Banggai
Dalam kasus Kabupaten Banggai pemberian
konsesi dalam skala besar berawal pada akhir 1980-an. Dimulai dari terbitnya
Hutan Tanaman Industri, lalu disusul perkebunan sawit. Sementara itu, konsesi
eks onderneming berupa kebun-kebun
kelapa tidak diambil alih negara untuk dibagikan pada petani sekitar, tetapi
dikuasai dalam bentuk HGU baru oleh jutawan lokal. Dari ragam bisnis ini
tumbuhlah konglomerasi Banggai yang berporos pada tiga kekuatan ekonomi besar. Mereka
adalah Sental Sulawesi; Kurnia Luwuk Sejati; Keluarga Bisnis Nayoan.
Dalam perjalannya, tiga kekuatan saling
bersaing mendapatkan hak previlege dari pemerintah daerah yang berkuasa pada
masa itu. Mereka mempengaruhi jalannya pemerintahan dengan mengintervensi
pranata hukum, legislatif dan eksekekutif. Dalam momentum sirkulasi
pemerintahan daerah mereka kadang berafiliasi dalam kendaraan politik yang
sama, dan tidak jarang berpisah bahkan berkelahi yang melibatkan front luas.
Tidak salah, kelompok pressure group
yang tumbuh subur pasca reformasi menjadi kuda pacuan yang berbaris terlibat
dalam medan tempur semu.
Intervensi politik diyakini sebagai jalan
untuk mengurangi resiko bisnis. Dengan kekuasaan yang disetir dari waktu ke
waktu segala bisnis yang menyengsarakan masyarakat perdesaan ini berjalan
normal. Seolah-olah tidak ada petani yang dipenjara, tidak ada petani yang
miskin. Derita warga Tetelara yang dibakar pondoknya persis di atas sawah
garapannya hilang dari hiruk-pikuk politik, saat pagi buldozer perusahaan siap
menggusur dan mengganti padai mereka dengan sawit.
Dari
Kematian Petani Menuju Kebangkitan
Kasus Tetelara dan Honbola menjadi saksi
kunci ganasnya perluasan komoditas yang tidak pernah diakui oleh politisi yang
berlawanan dengan Sofhian Mile sebagai kejahatan besar dari Kapitalis agraria.
Mereka menderita dalam kemiskinan memungut buah sawit, mengendap-ngendap di
balik pohon-pohon berduri agar bisa makan. Mereka bukan orang asing; mereka
adalah pemilik ulayat yang lahir sebagai anak adat Saluan dan Taa. Demikian
pula dengan warga transmigrasi yang telah diakui sebagai kesatuan penduduk
Banggai. Tanah Mereka dilenyapkan fungsinya sebagai sumber kehidupan
petani.
Persis seperti apa yang tertulis dalam buku Age of Extremes, The Short
Twentieth Century, 1914–1991, karya sejarawan Inggris Eric Hobsbawm (1994).
Ia menulis bahwa “perubahan yang paling dramatis paruh abad ini dan membedakan
kita dengan masa lampau adalah matinya kaum petani (the death of the peasantry)”. Petani adalah kelompok rakyat di
pedesaan yang hidup dari kegiatan pertanian, peternakan, atau perikanan dalam
ragam ekosistem, termasuk persawahan, perladangan, pengumpulan hasil
hutan/laut, penggembalaan, dengan unit utama kepemilikan dan produksi adalah
keluarga.
Kematian petani adalah gambaran relung sunyi yang absen selama berpuluh
tahun. Hal itulah yang melanda sebagian petani perdesaan Kabupaten Banggai.
Terlalu banyak, bahkan amat panjang rentetan peristiwa yang memilukan dihadapi
petani Banggai terkait dengan ketidakadilan akses sumber-sumber agraria. Tetapi
hanya sedikit diantara mereka yang berani membuka ‘aib” yang memalukan itu.
Siapa saja yang berani membuka itu? Mereka adalah Eva Bande, dan Serikat Petani
Batui-Toili Raya, KOPI dan individu yang setia dengan pembelaan terhadap petani
perdesaan.
Tetapi sekarang, tuturan penindasan dan penistaan terhadap petani
perdesaan tidak lagi berkawan sunyi. Seorang pemimpin yang berwibawa dan berani
menunjuk hidung investor. Dia adalah Sofhian Mile yang menolak memberi ruang
bagi perluasan produksi komoditas berbasis kelapa sawit. Selama memimpin
perhatiannya diarahkan untuk membangun Banggai Dari pinggiran; tepatnya dari
Desa.
Pada tahun 2015, sebanyak 600 juta dana segar digelontorkan ke perdesaan
agar petani dapat berdaya dan tidak menjual tanahnya. Mengajak petani mencintai
desa, hidup dan menata masa depan dengan sumber-sumber agraria. “Saya minta
persatuan dari petani, saya ingin minta tolong agar lahan dilindungi jangan
dijual, petani tidak bertani di awan, tetapi di atas lahan,” ujarnya. Sungguh
pernyataan ekonomi kemanusiaan yang melihat desa sebagai basis masa depan
Kabupaten Banggai, bukan janji kosong konglomerat atau Kapitalis Agraria.(tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar