KabarKobar-Masa-masa penting dalam pemilukada,
boleh dikata telah dilalui dengan tahapan-tahapan yang hampir sempurna dan matang
oleh kandidat yang berlaga dalam Pilkada Banggai tanggal 9 Desember 2015. Mulai
dari masa deklarasi, tatap muka, kampanye yang melibatkan alat pemicu seperti artis,
konser musik, jalan santai dan bermacam-macam kegiatan dengan tujuan hendak menarik
simpati massa. Setelah masa perkenalan diri berikut gambaran visi serta program
yang menjadi paket tawaran kepada publik juga sudah dilakukan. Nah, sekarang
waktu sampai pada kesimpulan kepada siapa pilihan rakyat akan berlabuh.
Beberapa pertanyaan yang seringkali muncul dalam
debat proses perkenalan diri, bagaimana rekam jejak kandidat, positioning,
kepribadian, dan karakter kepemimpinan macam apa yang populer di tengah-tengah
rakyat? Beberapa pertanyaan itu, menjadi beberapa hal saja sebagai acuan bagi
rakyat Banggai untuk menentukan sikapnya-itu pun kalau tidak ada distorsi-.
Bagaimana pun, kesadaran pemilih menjadi hal yang menentukan. Karakter pemilih
sangat ditentukan pada tingkat kesadaran, pengalaman, interaksi, gambaran, kecukupan
informasi dan yang paling pragmatis, manfaat apa yang mereka bisa peroleh.
Karakter masyarakat Kabupaten Banggai paling paling
tidak, dapat tergambarkan dalam empat aspek, Pertama, masyarakat
ultra-etnis, mereka yang mendambahkan kebangkitan kejayaan masa lalu (walaupun
indikatornya kabur); Kedua, Nasionalis-Multi-etnis, adalah mereka yang
mendambahkan situasi yang lebih menghargai perbedaan, baik secara kultural,
ras, agama yang setara dihadapan kuasa pranata sosial lainnya; Ketiga,
nasionalis-demokratis, adalah yang mengharapkan munculnya situasi ekonomi yang
lebih demokratis. Dimana, setiap pelaku usaha bisa mencari rejeki tanpa
monopoli, dan terbukanya peluang politik yang setara; Keempat,
masyarakat pragmatis adalah yang mereka karena informasi, atau intensitas
sehingga menganggap pilkada hanya momentum milik para kandidat saja, tidak
berhubungan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Dari sekian banyak karakter itu, sejauh ini tidak
ada yang saling mendominasi, walaupun usaha ke sana seringkali ditemui. Tetapi
kemungkin distorsi kesadaran muncul sebagai efek dari maraknya kampanye hitam
yang dilancarkan oleh beberapa poros kekuatan politik. Dilihat dari ketampakan
politiknya, sepertinya hal itu disengaja untuk menghindari debat konseptual. Tulisan
ini hendak menyegarkan pemahaman kita mengenai konteks politik kita; yaitu
masyarakat Sipil.
Kesadaran
Civil Society Vs Negara Kesejahteraan
Konsep masyarakat sipil atau Civil Society merupakan penggambaran masyarakat
moderen pasca monarki-feodal. Dalam konsep Islam, masyarakat demikian
digambarkan dalam Piagam Madina yang kita kenal dengan istlah masyarakat
madani. Ibnu Khaldun, menulis mengenai konsepsi masyarakat madani dalam
karyanya yang monumental berjudul: Mukkadimah. Tetapi konsep ini menyebarluas
setelah seorang filsuf Jerman Fredrick Hegel membangun tesis besar tentang
konsep masyarakat Sipil. Bagi Hegel, konsep Civil Society, adalah suatu
masyarakat pasca Revolusi Perancis, dimana keadaan masyarakat tersebut penuh
dengan kebebasan, terbebas dari belenggu feodalisme.
Kata
lain, orang-orang di dalamnya memiliki hak untuk memilih hidup apa yang mereka
suka dan memenuhi keinginan mereka sesuai kemampuan mereka. Negara tidak
memiliki hak untuk memaksakan jenis kehidupan tertentu kepada anggota masyarakat
sipil seperti yang terjadi dalam masyarakat feodal. Masyarakat sipil terdiri
dari individu-individu yang masing-masing berdiri sendiri atau dengan istilah
Hegel bersifat atomis kehendak dan kebebasan mereka bersifat
subyektif-partikular. Meskipun demikian, masing-masing anggota dalam mengejar
pemenuhan kebutuhannya saling berhubungan satu sama lain. Civil society menjadi
tempat pergulatan pemenuhan aneka kebutuhan dan kepentingan manusia yang
menjadi anggotanya. Dalam kerangka penggambaran ini, masyarakat sipil adalah
masyarakat yang bekerja. Karena kegiatan masyarakat sipil tidak dibatasi oleh
negara, maka dalam masyarakat sipil terjadilah usaha penumpukan kekayaan yang
intensif. Sementara itu, kapitalisme tumbuh dalam semangat Laizzes Fire (Pasar Bebas) yang terakar dari mekanisme pergulatan
bebas tanpa negara. Ideologi neoliberalisme yang sekarang banyak
diperbincangkan memiliki akar sejarah di proses historis semacam ini.
Kesadaran
sejarah tentang pasar bebas yang gagal memberi distribusi kesejahteraan dan
peluang yang lebih besar bagi partisipasi publik. Memungkinkan lahirnya beragam
tesis alternatif, salah satunya adalah model negara kesejahteraan berbasis
Demokrasi Pancasila. Indonesia, sebetulnya memiliki basis yang amat kuat secara
ideologi dan kontitusi terkait dengan pengaturan masyarakat dan sumber-sumber
kekayaan publik. Undang-undang 1945, pasal 33, telah memberikan pondasi yang
amat kuat sebagai rujukan yang dikontekstualisasi dengan era kekinian.
Desa Memberi Makan Dunia
Sebagaimana
telah diulas beberapa kali dalam artikel sebelumnya, bahwa masyarakat Kabupaten
Banggai-Dari ujung Balingara sampai Rata. saat ini sedang berada dalam masa
transisi. Gempuran ideologi neoliberalisme dan pasar terkoneksi secara global
baik jasa maupun sektor ril, menempatkan Banggai dengan segudang kekayaan
alamnya menjadi primadona. Banyak kekuatan, mulai dari skala lokal, nasional,
hingga global memberikan perhatian yang serius. Hadirnya beberapa investasi
skala global menjadi fakta yang tidak dapat disangkal. Sementara, sejauh ini,
belum ada suatu proses reformasi berkenaan dengan perlindungan hak atas tanah,
hak atas lingkungan dalam kerangka poros politik.
Apa
yang menjadi kebutuhan masyarakat Kabupaten Banggai saat ini, jika melirik
lebih dalam geo-politik regional dan tantangan yang dihadapi ke depan. Tentu
saja, kesadaran yang harus dipupuk bukan berkenaan seberapa besar kepentingan
pragmatis bekerja, atau apa yang bisa didapatkan dari pilkada, tetapi soal
konsepsi bagaimana memberikan perlindungan bagi hak-hak masyarakat sipil
Kabupaten Banggai dalam kerangka negara kesejahteraan. Dimana lembaga
eksekutif, sebagai pemegang kuasa pengguna anggaran, akses publik, akses bisnis,
dapat dikontrol seluruh lapisan masyarakat sipil; dalam konteks hak-hak publik.
Oleh
karena itu, momentum tanggal 9 Desember 2015, sudah sepantasnya direspon
sebagai jalan amat penting menyusun kerangka konsolidasi politik yang dapat
memberikan perlindungan bagi masyarakat Sipil. Sofhian Mile dan Sukri
Djalumang, menjadi icon terkini yang berani membicarakan soal paradigmatik
semacam ini dalam kontestasi politik lokal Kabupaten Banggai. Kandidat nomor
urut satu ini berani menawarkan resolusi pemantapan pembangunan Kabupaten
Banggai; menyempitkan gini rasio/ketimpangan; memprakarsasi pemekaran wilayah; mendorong
anggaran yang besar ke desa-desa. Saluran infrastruktur publik serta
aparaturnya yang dulu terkosentrasi di perkotaan di geser ke desa-desa, dibentuk
relawan posyandu, pengaktifan posyandu 24 jam, layanan puskemas yang meningkat,
dan pembentukan posko-posko layanan satu atap.
Selain
itu, keberanian melakukan jeda investasi baru dalam lapangan agraria sangat
relevan dengan kebijakan nasional yang lebih mengutamakan produksi pangan.
Kerangka kedaulatan pangan menjadi tema penting, terutama berkenaan dengan
bagaimana menempatkan lahan-lahan pertanian sebagai basis bertumbuh. Resiko
dari pengambilan keputusan semacam itu, mengandung dilema, konglomerat, atau
pengusaha perkotaan pada umumnya akan sangat tersinggung. Ruang gerak mereka
untuk menumpuk kekayaan dibatasi oleh lebih luasnya kepentingan publik
ketimbang akselerasi modal individu.
Tetapi kita harus tetapi memilih SATU- “Sayang
Kakak atau sayang bapak”-Kepentingan Rakyat Atau Kapitalis? Dengan demikian,
harapan Sofhian Mile, semua prasyarat-prasyarat itu dapat menjadikan desa, bukan
lagi sebagai basis produksi kemiskinan yang diberikan makan dunia tetapi tempat
produksi pangan yang Memberi Makan Dunia. Setiap rumah tangga usaha tani adalah
subjek bertumbuh, subjek kehidupan dan objek perluasan kesempatan yang
seadil-adilnya.(tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar