Semboyan
bersejarah itu, mengingatkan kita pada jejak seorang pria berkepala plontos
berkacamata berperawakan kurus. Badannya hanya dilapisi selembar kain putih
berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Sifatnya yang paling terkenal adalah
lembut tidak hanya dalam sehari-hari tapi melingkupi pandangan politiknya. Ia
adalah Mahatma Gandhi, atau dengan nama lengkap Mohandas Karachmad Gandhi, yang
lahir di India tepatnya tahun 1869. Pria itu dikenang dunia hingga kini,
mengalahkan anak politiknya; Jawahlal Nehru.
Pembicaraan
seputar sejarah orang-orang hebat bertujuan untuk dikenang beserta segala apa
yang ia perjuangkan. Aktivis Sosio-Politik, begitu orang-orang cendekiawan dan
akademisi memberikan penggambaran tentang apa yang telah dipraktikan oleh
Gandhi. Ia berjuang melawan diskriminasi rasial, ketidakadilan, kolonial,
kekerasan di atas fitnah dan hujatan dengan cinta dan perdamaian. Lelaki itu
percaya penuh pada kekuatan rakyat!
Apa
yang membuat Gandhi bertahan?
Imajinasi!
Ya, tepatnya suatu bayangan masa depan yang menjadi tujuan. Ia melihat kebahagiaan
di depan matanya saat berjalan di atas kerikil tanpa alas kaki. Sesuatu yang
dibayangkan itu seperti semboyan Soekarno: Jebol bangun Jebol. Ini suatu frasa
yang diperas sebagai kebangkitan; sebagai daya imajinasi; dan kekuatan. Mereka
berdua, selalu membuka harapan, memantapkan keyakinan publik pada apa yang akan
diperjuangakan dan dimenangkan.
Jean Jacques
Rousseau (1712-1778), menulis sebuah teori tentang Du Contract Social yang artinya bahwa negara terbentuk atas dasar
kesepakatan antara rakyat dan penguasa untuk membentuk sebuah negara. Oleh
karena itu, negara harus berdasarkan kedaulatan rakyat sehingga pemerintahan
yang baik adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Prinsip ini yang kemudian hari dikenal dengan istilah demokrasi.
Inilah
salah satu kunci dibalik ketokohan yang mendunia itu. Mereka memiliki keyakinan
untuk mewujudkan apa yang diperjuangkan oleh mereka. Inti dari segalanya adalah
kekuasaan akan memihak kemana. Kekuasaan politik seperti dayung perahu di
tengah samudera biru, diperlukan suatu imajinasi yang dapat menuntun segala keputusan.
Orientasi yang bekerja padanya menyangkut soal paradigma atau pandangan dunia
sebagai dasar pijak.
Dalam
konteks Kabupaten Banggai. H.Sofhian Mile sosok yang berani meneguhkan
kepercayaan publik tentang suatu imajinasi; Membangun Dari Desa. Bagi dia,
basis negara adalah desa, dan basis berdirinya desa adalah petani, nelayan,
pekerja, ibu rumah tangga, pemuda-pemudi desa. Semua itu tenaga penyokong
pembangunan yang memiliki potensi mengangkat derajat pembangunan, jika
diberikan perhatian yang tinggi. Tidak hanya soal bagaimana mereka mendapatkan
akses semata, tetapi menanamkan keyakinan bahwa mereka subjek pembangunan,
menjadi variabel kapital-modal yang melimpah.
Dasar
pijak pembangunan ini yang dimengerti secara luas sebagai konsepsi ‘makan bubur
dari pinggir”. Yakni mengakselerasi pembangunan dimulai dari merencanakan
pembangunan hingga ke pemberdayaan sektor ekonomi produktif. Basis utama
dari perencanaan ini adalah potensi unggulan di setiap teritori, wilayah yang
ke depan dibayangkan sebagai suatu kawasan-kawasan pertumbuhan baru.
Dengan
demikian, seluruh potensi setiap wilayah diberdayakan, diberikan fasilitas
produksi, distribusi dan pasar yang dapat menjangkau produk unggulan dari
masing-masing perdesaan. Inilah yang disebut dengan “suara rakyat suara tuhan,”.
Memberikan kedaulatan politik, kebijakan, pembangunan dalam paradigma yang
memihak, baik di atas kertas maupun dalam realisasi lapangan. (tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar