Senin, 23 November 2015

Editorial: Orang-orang Sabar

KabarKobar-“Kemenangan selalu milik orang sabar, santun dan lembut,” demikitan tulis Lao Tzu. Kata dia, jika badai menerjang, hanya akar terkuat yang akan bertahan. Pelajaran penting dari setiap peristiwa dalam hidup manusia adalah ketenangan, kesabaran dan keikhlasan menjalani hidup mencapai tujuan. Semua itu hanya diperoleh dari rangkaian sejarah panjang sosialisasi terhadap kebathinan yang dilalui setiap manusia. Apa arti dari pemikiran filsafat semacam itu?

 Nilai!

Nilai tak pernah sebanding dengan apa yang bisa diraba oleh akal budi dan panca indera. Ia sebuah panduan bagi gerak tubuh dalam pergaulan manusia. Di dalamnya timbunan cerita sejarah yang berisi pengalaman terpahit, penderitaan, kebahagiaan disatukan. Ini soal yang memuncak dari ekspresi tubuh menjadi verbalitas-terbahasakan luas menjadi kesan. Dari sini kesimpulan ditangkap oleh panca indera dengan akal budi menjadi kebenaran atau kebohongan; menjadi keputusan final.

Dalam lapangan realitas, kenyataan tak melulu kebenaran bisa jadi ia adalah alur dari skenario yang tertuliskan. Praktik lisan yang menyebarluaskan cerita kebohongan tanpa etika akan menjalar seperti virus. Menempel dan menekan kebenaran dalam imajinasi. Pemikiran dengan demikian menjadi tidak independen-bebas mengurai kategori menurut kesanggupan perwadahannya. Orang-orang yang memekik lehernya dengan fitnah dan kekejaman adalah sama dengan meyiram “tede” di atas “sandwich”. Ia memberi merek yang amat buruk pada apa yang ia nikmati sebagai makanan.

Demikianlah, nilai dan etika menjadi suatu alasan yang amat penting dalam memutuskan perkara. Dalam politik, nilai dan etika berkenaan dengan cara memaknai proses demokrasi yang sedang berlangsung. Tokoh pesohor seperti Soekarno, dianugerahi Tuhan kesanggupan dalam memutus perkara dengan etika dan nilai. Dari tangannnya penuh kesabaran meniti jalan terjal kolonialisme. Walau pun disekelilingnya keluar-masuk-datang-pergi orang baik dan penghianat, sebagai ujian mematangkan pendiriannya. Seorang tokoh yang telah sampai pada puncak nilai dan etika yang demikian, tak seorang pun dapat mempengaruhi keputusannya; kecuali rakyat banyak yang mendukungnya.

Pelajaran berharga semacam itu, ditunjukkan oleh HM.Sofhian Mile dan Sukri Djalumang. Keduanya “orang Banggai”. HM.Sofhian Mile lahir di Pohi, sebuah desa di pinggiran Kota Luwuk yang tumbuh dewasa sebagai anak sholeh dan mewarisi bakat kepemimpinan ayahnya, seorang imam mesjid kampung. Begitu pun Sukri Djalumang, seorang tokoh yang lahir di Soho, sebuah kampung yang terjepit di bawah kawah ketinggian gunung Keles Kota Luwuk. Pasangan calon ini pernah merasakan menjadi wakil rakyat berbeda tingkatan, di dalam darahnya mengalir ikatan pengabdian pada tanah Banggai. Meresapi relung-relung sunyi ruang aspirasi, menerobos kabut birokrasi, dan memberikan yang terbaik dari apa yang dipunya sebagai kesanggupan pengabdian.

Kesantunannya menjawab cercaan lawan politik. Bukan barang buatan tangan, tetapi telah dipahaminya sebagai konsekwensi awal dan akhir ketika hendak memutuskan maju sebagai Calon Bupati dan Wakil Bupati Banggai dengan tagline SMILESUKA nomor urut 1. Susunan sikap yang menubuh dengan cara pandang yang cemerlang berangkat dari relasi mereka yang kuat dengan politik sebagai passion, dan sosial change sebagai tujuan. Pengalaman menjadi bahan ajar keduanya untuk membangun nilai dan etika. Sehingga penerimaan mereka terhadap caci maki dan fitnah berjalan spontan mengikuti alur seperti air ke lembah-lembah yang menyuburkan sawah-sawah petani. Mereka tahu betul: rakyat akan membedakan siapa yang datang membawa berkah dan datang dengan petaka.   


Individu yang menghakimi pribadi bahkan menyerang tubuh demi ambisi kekuasaan. Telah tertuliskan sepanjang zaman. Cara atau metode beragam rupa, digunakan agar kekuasan jatuh ke tangannya. Pada masa yang moderen seperti sekarang ini teorisasi atas kejadian itu menjadi referensi yang amat berharga. Generasi sekarang dapat mempelajarinya sebagai tambahan pengetahuan dan bahan ajar kategori-kategori. Agar tidak mudah jatuh ke dalam pragmatisme kebendaan tanpa mengenali nilai dan etika secara wajar. (tim) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar