
Nilai!
Nilai
tak pernah sebanding dengan apa yang bisa diraba oleh akal budi dan panca
indera. Ia sebuah panduan bagi gerak tubuh dalam pergaulan manusia. Di dalamnya
timbunan cerita sejarah yang berisi pengalaman terpahit, penderitaan,
kebahagiaan disatukan. Ini soal yang memuncak dari ekspresi tubuh menjadi
verbalitas-terbahasakan luas menjadi kesan. Dari sini kesimpulan ditangkap oleh
panca indera dengan akal budi menjadi kebenaran atau kebohongan; menjadi
keputusan final.
Dalam
lapangan realitas, kenyataan tak melulu kebenaran bisa jadi ia adalah alur dari
skenario yang tertuliskan. Praktik lisan yang menyebarluaskan cerita kebohongan
tanpa etika akan menjalar seperti virus. Menempel dan menekan kebenaran dalam
imajinasi. Pemikiran dengan demikian menjadi tidak independen-bebas mengurai
kategori menurut kesanggupan perwadahannya. Orang-orang yang memekik lehernya
dengan fitnah dan kekejaman adalah sama dengan meyiram “tede” di atas “sandwich”.
Ia memberi merek yang amat buruk pada apa yang ia nikmati sebagai makanan.
Demikianlah,
nilai dan etika menjadi suatu alasan yang amat penting dalam memutuskan
perkara. Dalam politik, nilai dan etika berkenaan dengan cara memaknai proses
demokrasi yang sedang berlangsung. Tokoh pesohor seperti Soekarno, dianugerahi
Tuhan kesanggupan dalam memutus perkara dengan etika dan nilai. Dari tangannnya
penuh kesabaran meniti jalan terjal kolonialisme. Walau pun disekelilingnya
keluar-masuk-datang-pergi orang baik dan penghianat, sebagai ujian mematangkan
pendiriannya. Seorang tokoh yang telah sampai pada puncak nilai dan etika yang
demikian, tak seorang pun dapat mempengaruhi keputusannya; kecuali rakyat
banyak yang mendukungnya.
Pelajaran
berharga semacam itu, ditunjukkan oleh HM.Sofhian Mile dan Sukri Djalumang.
Keduanya “orang Banggai”. HM.Sofhian Mile lahir di Pohi, sebuah desa di
pinggiran Kota Luwuk yang tumbuh dewasa sebagai anak sholeh dan mewarisi bakat
kepemimpinan ayahnya, seorang imam mesjid kampung. Begitu pun Sukri Djalumang,
seorang tokoh yang lahir di Soho, sebuah kampung yang terjepit di bawah kawah
ketinggian gunung Keles Kota Luwuk. Pasangan calon ini pernah merasakan menjadi
wakil rakyat berbeda tingkatan, di dalam darahnya mengalir ikatan pengabdian
pada tanah Banggai. Meresapi relung-relung sunyi ruang aspirasi, menerobos
kabut birokrasi, dan memberikan yang terbaik dari apa yang dipunya sebagai
kesanggupan pengabdian.
Kesantunannya
menjawab cercaan lawan politik. Bukan barang buatan tangan, tetapi telah dipahaminya
sebagai konsekwensi awal dan akhir ketika hendak memutuskan maju sebagai Calon
Bupati dan Wakil Bupati Banggai dengan tagline SMILESUKA nomor urut 1. Susunan
sikap yang menubuh dengan cara pandang yang cemerlang berangkat dari relasi
mereka yang kuat dengan politik sebagai
passion, dan sosial change
sebagai tujuan. Pengalaman menjadi bahan ajar keduanya untuk membangun nilai
dan etika. Sehingga penerimaan mereka terhadap caci maki dan fitnah berjalan
spontan mengikuti alur seperti air ke lembah-lembah yang menyuburkan
sawah-sawah petani. Mereka tahu betul: rakyat akan membedakan siapa yang datang
membawa berkah dan datang dengan petaka.
Individu
yang menghakimi pribadi bahkan menyerang tubuh demi ambisi kekuasaan. Telah
tertuliskan sepanjang zaman. Cara atau metode beragam rupa, digunakan agar
kekuasan jatuh ke tangannya. Pada masa yang moderen seperti sekarang ini
teorisasi atas kejadian itu menjadi referensi yang amat berharga. Generasi
sekarang dapat mempelajarinya sebagai tambahan pengetahuan dan bahan ajar
kategori-kategori. Agar tidak mudah jatuh ke dalam pragmatisme kebendaan tanpa
mengenali nilai dan etika secara wajar. (tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar