
Demikian
pula dunia jurnalistik, kini telah berkembang apa yang disebut dengan citizen
jurnalisme atau jurnalisme masyarakat. Masyarakat dapat mengabarkan setiap
peristiwa dan kejadian yang mengandung unsur 5 w 1 ha, sebagai rumus utama
penulisan berita kategori stright news-berita cepat. Beberapa media kawakan
tanah air, baik cetak maupun televisi, telah mempraktikkan ini. Namun tetap
dibatasi pada konten-konten yang tidak mengandung, ajakan kekerasan, sara, dan
pornografi. Semua itu menggambarkan apa yang disebut dengan artikulasi publik.
Kegembiraan mengisi ruang baru (newsspace)
ini seringkali dihubungan dengan kebebasan ekspresi dan keterbukaan informasi
publik. Kebebasan bereskpresi diatur dan kovenan hak azasi manusia yang telah
diratifikasi dan pengaturan informasi diatur dalam undang-undang keterbukaan
informasi publik.
Kebebasan
semacam ini pada satu sisi baik sekali bagi tumbuhnya partisipasi publik yang
lebih demokratis, inovatif dan kreatif. Tetapi pada satu sisi, kita mengalami
kebanjiran informasi. Saking banjirnya informasi, kita sulit membedakan mana
fakta, data, dan fitnah, semua digoreng dalam satu belanga, namanya sosial
media. Kasus melubernya informasi akan terjadi pada masa-masa tertentu. Dalam
pasar entertainment, kita bisa belajar pada kasus seorang aktris Tiongkok yang
disebarluaskan foto yang berisi cerita ia digugat suaminya karena operasi
kecantikan. Walaupun itu bohong, tetapi ia tidak mungkin melakukan klarifikasi
pada Miliaran manusia pengguna sosial media di dunia. Karirnya hancur, ia jatuh
miskin, perusahaan-perusahaan selebriti tidak lagi mau menggunakan jasanya.
Demikian pula dengan kasus persaingan bisnis, beberapa korporasi besar
melancarkan serangan kampanye hitam terhadap perusahaan pesaingnya. Kepercayaan
publik jatuh, lembaran saham, dan perusahaan pun kolaps dan jatuh tidak
tertolong.
Informasi Dalam Konteks Pilkada
Dalam
konteks Pemilu, apalagi pemilukada. Kebanjiran informasi digunakan oleh para
pesaing politik menyebarluaskan informasi yang beragam. Jika tujuannya untuk
pencitraan akan membawa dampak positif yang baik. Partisipasi publik bisa
didorong dengan edukasi, melalui artikel, video dan foto-foto yang etis.
Tetapi, banyak juga diantara mereka yang menggunakan sosial media dengan cara
yang tidak etis. Mereka memanipulasi identitas dan informasi dengan tujuan
untuk menciptakan informasi sesat. Lawan politik yang diserang dengan kampanye
hitam tentu saja kesulitan menangkal ini. Nah, dalam posisi yang rentan semacam
ini, muncullah berbagai teori dari pakar jurnalistik dan ilmuwan bagaimana
membedakan informasi berisi fakta dan data, serta caci maki dan fitnah. Ragam
informasi dibutuhkan kerangka analisa yang benar, dan cara cepat membedakan
antara hoax (informasi palsu dan data).
Tetapi
terlebih dahulu kita harus mampu membedakan defenisi antara fitnah dan hujatan,
agar batasannya bisa dipahami: Pertama,
Hujat merupakan sebuah sikap terhadap adanya sebuah fakta yang bersikap positif
tetapi diberi konotasi negatif. Biasanya diucapkan dan dilakukan dengan sangat
emosional dan dengan kata-kata yang tak pantas; Kedua, Fitnah merupakan sebuah sikap terhadap adanya sebuah hal
yang tidak berdasarkan fakta dan kemudian dikatakan kepada orang lain dengan
tujuan agar orang lain punya persepsi negatif terhadaap objek yang dibarakan.
Sementara
itu untuk data dan informasi sebagai berikut; Pertama, Data adalah fakta mentah atau rincian peristiwa yang belum
diolah, yang terkadang tidak dapat diterima oleh akal pikiran dari penerima
data tersebut, maka dari itu data harus diolah terlebih dahulu menjadi
informasi untuk dapat di terima oleh penerima. Data dapat berupa angka,
karakter, simbol, gambar, suara, atau tanda-tanda yang dapat digunakan untuk
dijadikan informasi. Suatu informasi bisa saja menjadi data apabila informasi
tersebut digunakan kembali untuk pengolahan sistem informasi selanjutnya. Dalam
dunia komputer data adalah segala sesuatu yang disimpan di dalam memori menurut
format tertentu; Kedua, Informasi
adalah hasil pengolahan data yang sudah dapat diterima oleh akal pikiran
penerima informasi yang nantinya dapat digunakan untuk pengambilan keputusan.
Informasi dapat berupa hasil gabungan, hasil analisa, hasil penyimpulan, dan
juga hasil pengolahan sistem informasi komputerisasi.
Dalam buku The Element of Journalism
yang ditulis oleh Bill Kovach & Tom Rosenstiel, menyebutkan
acara memilah informasi melalui sosial media. Salah satunya, informasi harus
diketahui sumbernya. Apakah informasi tersebut berasal dari sumber-sumber
otoritatif, seperti badan-badan pemerintah dan badan-badan publik yang memiliki
kredibilitas dalam bidangnya dan dipercaya; kedua, dasar dan sumber rujukan
informasi harus dikroscek apakah si pembawa informasi bisa dipercaya atau
tidak. Apakah ia menuliskan informasi memiliki muatan data dan informasi yang
bisa dipercaya. Dari melihat cara penyajian dan isi tulisan tertentu apakah
bersifat menyajikan peristiwa, data, atau informasi yang telah diolah melalui
kaidah yang benar. Sebab kalau tidak, jangan sampai kita sedang mandi informasi
palsu, dari orang-orang yang sengaja menyebarkan kebohongan yang diproduksi
seolah-olah kebenaran.
Dalam
konteks pilkada, karena rentang waktu dan jarak yang tidak terlalu jauh,
alangkah baiknya warga mendatangi pihak-pihak yang bisa dipercaya seperti
badan-badan pemerintah, misalnya informasi soal pertumbuhan ekonomi, pergilah
ke Bappeda atau BPS, informasi kesehatan ke Dinas Kesehatan, dan soal-soal
keamanan ke pihak-pihak yang bisa dipercaya, atau bertanya langsung pada
kandidat yang sedang difitnah. Apalagi belakangan ini, pasangan SMILESUKA nomor
urut satu selalu difitnah. Lawan-lawan politik menyebarkan informasi yang tidak
benar, bahkan seringkali melakukan personifikasi yang tidak sesuai dengan
kenyataan. Tujuan mereka Cuma satu: Menyerang tubuh dan menjatuhkan
kredibilitas HM.Sofhian Mile dan Sukri Djalumang. Tujuan akhirnya agar rakyat
mengalihkan pilihannya. Jadi, waspadalah. Agama melarang fitnah! (tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar