Jumat, 20 November 2015

Fakta versus Fitnah: Konteks Pilkada Banggai

KabarKobar-Perkembangan tekhnologi informasi menghadirkan ragam informasi dihadapan kita. Media massa yang dulu sangat dikuasai oleh media cetak seperti Koran, Majalah, Bulletin dan dan media elektronik yaitu radio, dan audio visual melalui tayang gambar bergerak atau televisi kini telah mengalami transformasi menuju media face to face via sosial media. Setiap indivdu dapat mengabarkan informasi dan membagi pengetahuan. Mereka pula dapat menerima informasi langsung tanpa perantara hingga ke ruang pribadi, kamar, bahkan di kamar mandi sekalipun melalui gaget atau telpon pintar (smartphone).


Demikian pula dunia jurnalistik, kini telah berkembang apa yang disebut dengan citizen jurnalisme atau jurnalisme masyarakat. Masyarakat dapat mengabarkan setiap peristiwa dan kejadian yang mengandung unsur 5 w 1 ha, sebagai rumus utama penulisan berita kategori stright news-berita cepat. Beberapa media kawakan tanah air, baik cetak maupun televisi, telah mempraktikkan ini. Namun tetap dibatasi pada konten-konten yang tidak mengandung, ajakan kekerasan, sara, dan pornografi. Semua itu menggambarkan apa yang disebut dengan artikulasi publik. Kegembiraan mengisi ruang baru (newsspace) ini seringkali dihubungan dengan kebebasan ekspresi dan keterbukaan informasi publik. Kebebasan bereskpresi diatur dan kovenan hak azasi manusia yang telah diratifikasi dan pengaturan informasi diatur dalam undang-undang keterbukaan informasi publik.

Kebebasan semacam ini pada satu sisi baik sekali bagi tumbuhnya partisipasi publik yang lebih demokratis, inovatif dan kreatif. Tetapi pada satu sisi, kita mengalami kebanjiran informasi. Saking banjirnya informasi, kita sulit membedakan mana fakta, data, dan fitnah, semua digoreng dalam satu belanga, namanya sosial media. Kasus melubernya informasi akan terjadi pada masa-masa tertentu. Dalam pasar entertainment, kita bisa belajar pada kasus seorang aktris Tiongkok yang disebarluaskan foto yang berisi cerita ia digugat suaminya karena operasi kecantikan. Walaupun itu bohong, tetapi ia tidak mungkin melakukan klarifikasi pada Miliaran manusia pengguna sosial media di dunia. Karirnya hancur, ia jatuh miskin, perusahaan-perusahaan selebriti tidak lagi mau menggunakan jasanya. Demikian pula dengan kasus persaingan bisnis, beberapa korporasi besar melancarkan serangan kampanye hitam terhadap perusahaan pesaingnya. Kepercayaan publik jatuh, lembaran saham, dan perusahaan pun kolaps dan jatuh tidak tertolong.

Informasi Dalam Konteks Pilkada

Dalam konteks Pemilu, apalagi pemilukada. Kebanjiran informasi digunakan oleh para pesaing politik menyebarluaskan informasi yang beragam. Jika tujuannya untuk pencitraan akan membawa dampak positif yang baik. Partisipasi publik bisa didorong dengan edukasi, melalui artikel, video dan foto-foto yang etis. Tetapi, banyak juga diantara mereka yang menggunakan sosial media dengan cara yang tidak etis. Mereka memanipulasi identitas dan informasi dengan tujuan untuk menciptakan informasi sesat. Lawan politik yang diserang dengan kampanye hitam tentu saja kesulitan menangkal ini. Nah, dalam posisi yang rentan semacam ini, muncullah berbagai teori dari pakar jurnalistik dan ilmuwan bagaimana membedakan informasi berisi fakta dan data, serta caci maki dan fitnah. Ragam informasi dibutuhkan kerangka analisa yang benar, dan cara cepat membedakan antara hoax (informasi palsu dan data).

Tetapi terlebih dahulu kita harus mampu membedakan defenisi antara fitnah dan hujatan, agar batasannya bisa dipahami: Pertama, Hujat merupakan sebuah sikap terhadap adanya sebuah fakta yang bersikap positif tetapi diberi konotasi negatif. Biasanya diucapkan dan dilakukan dengan sangat emosional dan dengan kata-kata yang tak pantas; Kedua, Fitnah merupakan sebuah sikap terhadap adanya sebuah hal yang tidak berdasarkan fakta dan kemudian dikatakan kepada orang lain dengan tujuan agar orang lain punya persepsi negatif terhadaap objek yang dibarakan.

Sementara itu untuk data dan informasi sebagai berikut; Pertama, Data adalah fakta mentah atau rincian peristiwa yang belum diolah, yang terkadang tidak dapat diterima oleh akal pikiran dari penerima data tersebut, maka dari itu data harus diolah terlebih dahulu menjadi informasi untuk dapat di terima oleh penerima. Data dapat berupa angka, karakter, simbol, gambar, suara, atau tanda-tanda yang dapat digunakan untuk dijadikan informasi. Suatu informasi bisa saja menjadi data apabila informasi tersebut digunakan kembali untuk pengolahan sistem informasi selanjutnya. Dalam dunia komputer data adalah segala sesuatu yang disimpan di dalam memori menurut format tertentu; Kedua, Informasi adalah hasil pengolahan data yang sudah dapat diterima oleh akal pikiran penerima informasi yang nantinya dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Informasi dapat berupa hasil gabungan, hasil analisa, hasil penyimpulan, dan juga hasil pengolahan sistem informasi komputerisasi.

Dalam buku The Element of Journalism  yang ditulis oleh Bill Kovach & Tom Rosenstiel, menyebutkan acara memilah informasi melalui sosial media. Salah satunya, informasi harus diketahui sumbernya. Apakah informasi tersebut berasal dari sumber-sumber otoritatif, seperti badan-badan pemerintah dan badan-badan publik yang memiliki kredibilitas dalam bidangnya dan dipercaya; kedua, dasar dan sumber rujukan informasi harus dikroscek apakah si pembawa informasi bisa dipercaya atau tidak. Apakah ia menuliskan informasi memiliki muatan data dan informasi yang bisa dipercaya. Dari melihat cara penyajian dan isi tulisan tertentu apakah bersifat menyajikan peristiwa, data, atau informasi yang telah diolah melalui kaidah yang benar. Sebab kalau tidak, jangan sampai kita sedang mandi informasi palsu, dari orang-orang yang sengaja menyebarkan kebohongan yang diproduksi seolah-olah kebenaran.

Dalam konteks pilkada, karena rentang waktu dan jarak yang tidak terlalu jauh, alangkah baiknya warga mendatangi pihak-pihak yang bisa dipercaya seperti badan-badan pemerintah, misalnya informasi soal pertumbuhan ekonomi, pergilah ke Bappeda atau BPS, informasi kesehatan ke Dinas Kesehatan, dan soal-soal keamanan ke pihak-pihak yang bisa dipercaya, atau bertanya langsung pada kandidat yang sedang difitnah. Apalagi belakangan ini, pasangan SMILESUKA nomor urut satu selalu difitnah. Lawan-lawan politik menyebarkan informasi yang tidak benar, bahkan seringkali melakukan personifikasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Tujuan mereka Cuma satu: Menyerang tubuh dan menjatuhkan kredibilitas HM.Sofhian Mile dan Sukri Djalumang. Tujuan akhirnya agar rakyat mengalihkan pilihannya. Jadi, waspadalah. Agama melarang fitnah! (tim)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar