Politik tak selalu identik dengan “menghalalkan
segala cara” gaya Macchiaveli. Ia adalah suatu pertarungan kehormatan milik
para dermawan yang mengikhlaskan harta dan pengetahuannya pada jalan kebenaran.
Politik dengan frasa demikian, tak berlaku bagi kapitalis. “Keluar seratus
seribu harus kembali 100 juta,” inilah politik kapitalis: mengejar untung! Bagi
mereka yang akal budinya se dalam rasa garam lautan akan mengicip dunia dalam
ketenangan. Ombak hanya sesekali menepuk air laut dalam kebiruan samudera, dan
akan terlihat bising di tepi pantai yang dangkal.
Demikian lah, cara orang-orang
hebat memaknai politik sebagai jalan kehormatan. Di dalam politik segala urusan
yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibicarakan. Di meja-meja kantor
itulah segala keputusan diambil, baik itu menyangkut irigasi, lahan, maupun penempatan
investasi. Sejauh mana kepentingan rakyat kebanyakan dibicarakan dan
diputuskan, nasibnya bertarung dengan kepentingan lainnya.
Di sinilah pentingnya edukasi
politik. Edukasi politik memerlukan kejujuran, integritas, dan kehormatan
tingkat tinggi. Menyampaikan visi-misi dan program dihadapan rakyat harus
dikroscek dengan pengalaman sehari-hari yang dihadapi. Maka dari itu, politik
harusnya partisipasi rakyat; karena ini bukan soal pembicaraan siapa yang akan
mendapatkan kenikmatan dari rente politik. Tetapi politik adalah arena
membicarakan kepentingan rakyat kebanyakan.
Oleh karena itu, tidak semua
politisi yang perangainya seolah-olah dekat dengan rakyat memihak kepentingan
orang kebanyakan. Fakta menunjukkan, mereka sederhana dan layu seperti ilalang
kering dimusim kemarau, tetapi menikam jantung burung elang. Artinya apa? Ia berkata
baik di depan rakyat, tetapi menerbitkan perkebunan sawit yang menggusur
rakyat; membeli tanah murah dan dijual mahal pada investor. Semua itu adalah
pembicaraan dalam arena kekuasaan politik.
Negara
adalah produk kontraktual. Ia adalah kesepakatan masyarakat yang berbeda-beda
menyusun rumah baru sebagai jalan mengakhiri bangunan lama. Teori ini tetap
relevan hingga kita masih percaya pada demokrasi. Dalam proses bernegara,
bangun susun sistem politik mengikuti kecenderungan perkembangan masyarakatnya.
Sehingga politik amat dinamis, selalu berkembang dari waktu ke waktu.
Transisional demokrasi perwakilan menuju partisipasi langsung adalah pengalaman
bersejarah dalam politik tanah air.
"Fungsi negara tidak hanya sekedar sebagai wasit dari pertandingan kepentingan; sesekali ketika kekuasaan telah direbut negara dipaksa oleh kenyataan harus memihak: kepentingan orang kebanyakan atau kapitalis yang hanya mementingkan dirinya sendiri".
Transisional
harusnya menjadi pesta rakyat. Rakyat bergerak mengajukan tuntutannya dan
meluaskan front untuk memberi perlindungan pada tanah-tanah perdesaan, petani
miskin, dan memihak tenaga kerja. Pilkada, menjadi arena pertarungan yang
disediakan oleh negara sebagai jalan bagi setiap entitas masyarakat merebut
kekuasaan.
Dalam
berbagai ceramah kampanye, HM.Sofhian Mile dan Sukri Djalumang secara tegas
mengumandangkan gerakan” menghadang Kapitalis masuk ke Eksekutif”. Ini bukan
sekedar semboyan, tetapi ajakan bagi masyarakat Kabupaten Banggai untuk bersatu
melindungi kepentingannya dalam arus politik” SMILESUKA Nomor Urut 1”. Seberapa
besar nasib rakyat perdesaan dan para pekerja akan terlindungi, itu akan sangat
tergantung anda mencobolos nomor urut 1 pada tanggal 9 Desember, 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar