Minggu, 22 November 2015

Politik “Orang Kebanyakan”

KabarKobar-“Menggebah Rumput Mengagetkan Ular,” orang bisa menang tanpa perang, demikian tulis Do Cao Jing She dalam buku karya Gao Yuan,” Memancing Harimau Turun Gunung:” 36 Strategi Perang Cina Kuno. Masih dalam buku yang sama,  Lian Huan Ji menulis, “Ikat Jadi Satu Kapal-Kapal Perang Musuh”. Bila dua ekor belalang berkutat pada seutas tali, tak satu pun akan mampu meloloskan diri. Pepatah kuno China yang disadur dari berbagai pengalaman perang ini. Mengingatkan kita pada satu semboyan nasional: tak ada tali, rotan pun jadi.


Politik tak selalu identik dengan “menghalalkan segala cara” gaya Macchiaveli. Ia adalah suatu pertarungan kehormatan milik para dermawan yang mengikhlaskan harta dan pengetahuannya pada jalan kebenaran. Politik dengan frasa demikian, tak berlaku bagi kapitalis. “Keluar seratus seribu harus kembali 100 juta,” inilah politik kapitalis: mengejar untung! Bagi mereka yang akal budinya se dalam rasa garam lautan akan mengicip dunia dalam ketenangan. Ombak hanya sesekali menepuk air laut dalam kebiruan samudera, dan akan terlihat bising di tepi pantai yang dangkal.

Demikian lah, cara orang-orang hebat memaknai politik sebagai jalan kehormatan. Di dalam politik segala urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibicarakan. Di meja-meja kantor itulah segala keputusan diambil, baik itu menyangkut irigasi, lahan, maupun penempatan investasi. Sejauh mana kepentingan rakyat kebanyakan dibicarakan dan diputuskan, nasibnya bertarung dengan kepentingan lainnya. 

Di sinilah pentingnya edukasi politik. Edukasi politik memerlukan kejujuran, integritas, dan kehormatan tingkat tinggi. Menyampaikan visi-misi dan program dihadapan rakyat harus dikroscek dengan pengalaman sehari-hari yang dihadapi. Maka dari itu, politik harusnya partisipasi rakyat; karena ini bukan soal pembicaraan siapa yang akan mendapatkan kenikmatan dari rente politik. Tetapi politik adalah arena membicarakan kepentingan rakyat kebanyakan.

Oleh karena itu, tidak semua politisi yang perangainya seolah-olah dekat dengan rakyat memihak kepentingan orang kebanyakan. Fakta menunjukkan, mereka sederhana dan layu seperti ilalang kering dimusim kemarau, tetapi menikam jantung burung elang. Artinya apa? Ia berkata baik di depan rakyat, tetapi menerbitkan perkebunan sawit yang menggusur rakyat; membeli tanah murah dan dijual mahal pada investor. Semua itu adalah pembicaraan dalam arena kekuasaan politik.

Negara adalah produk kontraktual. Ia adalah kesepakatan masyarakat yang berbeda-beda menyusun rumah baru sebagai jalan mengakhiri bangunan lama. Teori ini tetap relevan hingga kita masih percaya pada demokrasi. Dalam proses bernegara, bangun susun sistem politik mengikuti kecenderungan perkembangan masyarakatnya. Sehingga politik amat dinamis, selalu berkembang dari waktu ke waktu. Transisional demokrasi perwakilan menuju partisipasi langsung adalah pengalaman bersejarah dalam politik tanah air.  

"Fungsi negara tidak hanya sekedar sebagai wasit dari pertandingan kepentingan; sesekali ketika kekuasaan telah direbut negara dipaksa oleh kenyataan harus memihak: kepentingan orang kebanyakan atau kapitalis yang hanya mementingkan dirinya sendiri".

Transisional harusnya menjadi pesta rakyat. Rakyat bergerak mengajukan tuntutannya dan meluaskan front untuk memberi perlindungan pada tanah-tanah perdesaan, petani miskin, dan memihak tenaga kerja. Pilkada, menjadi arena pertarungan yang disediakan oleh negara sebagai jalan bagi setiap entitas masyarakat merebut kekuasaan.


Dalam berbagai ceramah kampanye, HM.Sofhian Mile dan Sukri Djalumang secara tegas mengumandangkan gerakan” menghadang Kapitalis masuk ke Eksekutif”. Ini bukan sekedar semboyan, tetapi ajakan bagi masyarakat Kabupaten Banggai untuk bersatu melindungi kepentingannya dalam arus politik” SMILESUKA Nomor Urut 1”. Seberapa besar nasib rakyat perdesaan dan para pekerja akan terlindungi, itu akan sangat tergantung anda mencobolos nomor urut 1 pada tanggal 9 Desember, 2015. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar